Antithesis Pioneer of Village

Antitesis Pelopor Kampung

Judul Novel : Sang Pelopor
Penulis : Alang-Alang Timur
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : Januari 2009
Tebal : 354 halaman
Peresensi: Bayu Tara Wijaya*

Sukar adalah nama yang cocok dengan kondisi fisik tubuh bocah lelaki lugu yang setiap usai sekolah bermain cangkul, bajak dan panas matahari. Tidak salah jika kulit Sukar terpanggang hitam oleh terik matahari.

Sosok bocah yang dimunculkan oleh penulis novel motivasi. Peran yang menggambarkan perjuangan anak kampung yang memiliki semangat baja untuk menjadi seorang yang sukses dalam meraih cita-cita. Usaha-usaha yang ia perankan sebagai pelopor anak orang miskin, tetapi bisa sukses dalam pendidikan. Ambisi, aksi dan ijtihad ala Islam yang kuat, yakni selain belajar sambil bekerja, ia juga masih sempat meraih mustajab illahirobbi di sepertiga malam sebagai penyeimbang usaha Sukar.

Lugas dan renyah, judul novel Sang Pelopor, mengisahkan perubahan dari pergerakan anak kampung. Cerita yang diiringi motivasi-motivasi sukses cukup mengelitik telinga para pembaca untuk terbangun dan menyelami kembali kisah dan usaha sukses dalam novel Sang Pelopor.

Novel rintisan yang ditulis oleh Alang-Alang Timur, nama pena dari Sugeng yang mengadakan lompatan besar dan berguru di universitas ‘kehidupan’. Keterpurukan dan kepedulian pada atas pendidikan adik-adiknya membuat penulis sabar akan pentingnya sebuah pendidikan. Sebab, pendidikan bukan masalah sepele. Sehingga pantas, ia dapat merampungkan novel motivasi yang tidak kalah menariknya dengan novel Laskar Pelangi dan ini harus serta patut dibaca oleh para guru, orangtua, juga birokrasi sebagai bagian penting dalam mengawal pendidikan kita.

Kemasan sastra tulisan yang dikemas Sugeng dalam 30 bagian, seraya lengkap al-Quran 30 juz. Bermula dari cerita carut-marut kehidupan dan perjuangan tokoh utama dalam memahat ukiran di bangku sekolah, terceritakan pada bagian pertama hingga bagian ketujuh.

Pada bagian tersebut, menjadi bagian intergral ketika membincang pendidikan. Lamunkan, dalam cerita novel telah dikisahkan ada sekolah di perkampungan, yang menyebalkan, suasana ruangan yang tidak nyaman, membuat bosan, ngantuk dan lain sebagainya, apalagi ketika mendengarkan pelajaran. Sebut dalam cerita adalah sekolah di Klaten Jawa Tengah yang setiap ruang hanya memiliki dua guru dalam mengajar satu minggu. Sehingga, banyak guru yang mengarap pelajaran-pelajaran lain yang non bidang akademik guru tersebut.

Wajah lesu, loyo, tak bersemangat, ketika hanya itu saja guru yang mereka hadapi. Namun, sosok pelopor yang diperankan oleh tokoh utama Sukar dalam novel bernuasa motivasi ini, sanggup mendobrak gerbang kemalasan. Sukar, sanggup mengalahkan tuduhan “yang pintar hanya yang kaya, karena bersekolah di tempat yang favorit.” Ia sanggup meraih prestasi di bangku sekolahnya, walaupun ketika belajar di sekolah ia juga malas, dikarenakan gaya dan model pembelajaran yang tidak menyenangkan.

Terlepas dari suksesnya Sukar, bahwa ia sering kali mendapatkan pengetahuan di luar sekolah dan kebetulan pelajaran yang ia dapat di luar sekolah mirip dengan pelajaran sekolah.

Sekedar pujian dari pembaca, novel Sang Pelopor memiliki alur cerita mirip dengan film Slumdog Millionaire (2008) yang meraih penghargaan tujuh piala Oscar kategori film terbaik. Dalam film ini diceritakan bahwa ada seorang anak yang sukses meraih kekayaan miliyaran rupih pada acara Who Wants To Be A Millionaire. Tokoh Salim adalah anak peraih uang milayaran tersebut. Berbagai pertanyaan yang ia terima, banyak ia temukan jawabannya dalam perjalanan hidup Salim. Alur yang mirip dengan Sang Pelopor, yakni mendapat pengetahuan bukan di bangku sekolah melainkan di luar sekolah. Bedanya, Sukar adalah orang yang sukses dalam mencari ilmu, sedangkan Salim sukses dalam meraih kekayaan.

Kampung Sawah
Hal yang sangat menakjubkan, cerita yang sedikit beda pada novel ini, ketika sekolah Kampung Sawah tidak disukai para siswa, namun sekolah ini memiliki keistimewaan yang berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Tentu, keistimewaan tersebut bukan datang dengan sendirinya.

Pak Hadi, salah satu yang membantu kesuksesan tokoh utama dalam novel motivasi ini. Beliau menjadi aset paling berharga di Kampung Sawah. Selain menjadi sosok pendidik ia juga menjadi orangtua bagi murid-murid beliau. Sang pelopor itu pun bekerja tanpa gaji negara. Beliau merubah sekolah bukan hanya sekedar sebagai tempat transfer of knowledge, tetapi bagaimana siswa-siswanya dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Bahkan standar kelulusan sekolah Kampung Sawah pun tak sama dengan sekolah lain. Siswa belum dianggap lulus kalau mereka hanya bisa mengerjakan soal ujian akhir. Melainkan mereka harus dapat meninggalkan karya sebelum meninggalkan sekolah. Mereka dapat menyerahkan karya tulis, kumplan puisi, novel, atau penemuan-penemuan yang dianggap bermanfaat.

Hemat kata, novel ini menceritakan antitesis ideologi penulis tentang kepeduliannya terhadap pendidikan, gerakan yang keluar dari sistem pengekangan. Membuatnya sukses dan dikenal oleh masyarakat. Desa Negahan yang masih sama seperti dulu adalah tempat tinggalnya. Desa pinggiran yang terdiri dari sebelas kampung dengan 960 kepala keluarga yang tercatat sebagai desa mandiri energi.
Sederet cerita yang dipaparkan memberikan penyegaran terhadap para pembaca yang mau berusaha mandiri dalam hal pengembangan kepribadian dalam proses pendidikan yang menyenangkan. Model-model pendidikan yang diceritakan dalam kisah sekolah Kampung Sawah menjadi bukti bahwa kesuksesan pendidikan bukan berada pada hasil nilai ujian akhir, melaikan bagaiaman lulusannya dapat mmberikan manfaat pada masyarakat bukan untuk dirinya sendiri saja.

Petikan langsung dalam novel tersebut yang dilontarkan kepala sekolah Kampung Sawah, ustadz Fairus berkata, “Biarlah mereka belajar sambil melakukan, bukan sekedar membayangkan, sebab cita-cita meraka lebih tinggi dari cita-cita kita”. Selain itu, masih ada beberapa ungkapan yang lebih mengugah kita akan seberapa pentingnya urusan pendidikan anak. Karena pendidikan bukanlah alat percobaan dalam menguji sebuah sistem baru—termasuk kurikulum baru.

Terlepas dari itu semua, novel yang dianggap sebagai pemberi motivasi, berisi antitesis terhadap sistem pendidikan setelah penerbitannya, bahkan dalam waktu sebulan novel ini sempat terbit kedua kalinya. Oleh karena itu, novel ini sangat layak untuk dibaca. Terlebih sebagai bahan referensi para orangtua, pendidik, birokrasi dan lainnya sebagai wakil masyarakat yang peduli akan hal pendidikan.[]

di muat di Surabaya Post, edisi 27 Juni 2009

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.