Guru Semakin Materialistik

Guru Semakin Materialistik

Oleh Bayu Tara Wijaya *

Guru yang sejak kecil kita sebut adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi sekarang jasa guru butuh bayaran dari orangtua peserta didiknya. Pada akhirnya, guru menuntut kesejahteraan hidup ditanggung oleh peserta didiknya. Kebanyakan para guru tidak lagi main “gratisan” dalam membagi ilmunya. Sehingga ketika peserta didik diajar oleh guru yang hidupnya tergantung pada hasil mengajar di sekolah dan hal ini membuat kinerja guru tidak lagi profesional dibandingkan guru yang hidupnya sudah makmur (kaya).

Ukuran menjadi kategori guru pahlawan tanpa tanda jasa sekarang ini sangat sulit didapati terlebih nilai barang kebutuhan sudah tidak lagi seimbang dengan gaji bulanan. Syukurnya, masih ada beberapa guru yang masih berada dalam kategori pahlawan. Setiap kali mengajar, bukan sekedar transfer of knowledge tetapi juga educative (mendidik) dan keeping (mengawasi).

Sesalnya, guru yang berjiwa ideal seperti itu, sudah tidak lagi bersebaran bagai daun rontok dari batangnya. Kebiasaan guru yang lompat sana-sini berakibat tidak sempatnya guru untuk mendidik, mengawasi maupun lainya. Guru hanya dapat datang pada jam belajar, dan langsung kembali ketika bel sekolah berakhir. Terkadang guru sering bolos karena terburu-buru beraktivitas di tempat lain. Guru yang seperti ini, masih belum dikategorikan sebagai guru ideal.

Pada zaman dahulu ketika Jepang menjajah Indonesia, dan Jepang melakukan bimbingan belajar perang terhadap warga Indonesia. Para warga tersebut didesain Jepang sebagai ‘pagar’ pelindung Jepang. Sebut saja, mereka para wayang (pesuruh) yang dimanfaatkan oleh dalang (Jepang).

Walaupun, dalam zaman tersebut terjadi penurunan ilmu, bukan berarti Jepang adalah guru bagi Indonesia. Malah, Indonesia adalah sebagai kelinci permainan dalang (Jepang). Sebab, kita ingat kembali dalam wacana filsafat pendidikan yang berisi sebagaimana penjelasan di atas, bahwa guru bukan hanya transfer ilmu tetapi juga membimbing, mengawasi dan lainya menjadi prasarat seorang guru. Maka dari itu, kepedulian seorang guru terhadap peserta didik atau kepedulian dalam mengembangkan sekolah mulai saat ini sangat diperlukan dalam tersukseskannya mutu pendidikan.

Tipologi Guru

Banyak macam model tipologi guru, mulai dari guru idealis sampai guru materialis. Guru materialis, pada saat ini menjadi guru yang merugikan pada peserta didik. Pendidikan dan peserta didik sudah pasti menjadi tumbal para guru materialis. Sebab, guru yang seperti ini jelas memiliki tipologi bisnis. Segala aktivitas mengajar guru, baginya adalah tergantung sekali pada materi yang mereka peroleh. Ketika guru seperti ini, gajinya naik maka semangat mengajar tumbuh dan ketika gaji lambat turun berdampak guru seperti ini seenaknya sendiri dalam mengajar.

Sangat sulit sekali dengan sikap guru yang seperti ini. Padahal mereka sudah mengenyam pendidikan lebih dulu, malah karena lebih dulu, mereka memanfaatkan jabatan gurunya untuk membodohi peserta didik. Kasus membodohi peserta didik tidak saja terjadi pada sekolah-sekolah saja dan bahkan kasus membodohi di kalangan kampus juga masih sering terjadi dilakukan oleh para dosen yang berjiwa materialis tinggi.

Kerap sekali kasus-kasus pembodohan atau kasarnya adalah penipuan dilakukan dikalangan lingkungan pendidikan. Salah satu misal, seorang dosen yang memanfaatkan tugas-tugas mahasiswanya yang berupa makalah ataupun yang lain untuk dijadikan buku dan diterbitkan dosennya. Lebih parah lagi, buku yang diterbitkan memakai nama penulis dosen tersebut. Padahal isi buku bukanlah murni dari karya dosen bahkan dosen hanya sebagai editor.

Naik Pangkat

Pada saat ini, jabatan guru atau dosen merupakan jabatan yang banyak dimimpikan. Apalagi dikalangan dosen ada istilah kenaikkan pangkat. Dengan demikian, dosen banyak sekali yang berkejaran mencapai kenaikan pangkat. Tetapi sangat tragis, ketika seorang dosen demi naik pangkat dengan nilai poin-poin tertentu membuat para dosen berpikiran kreatif. Sayangnya, ide kreatif dosen tidak didukung kemampuan yang inovatif. Efeknya, cara apapun demi kenaikkan pangkat akan meraka jalani.

Realitanya, banyak pula dosen atau guru yang membuat karya tulis berupa penerbitan buku dibarengi dengan niat agar mendapatkan kenaikan pangkat. Sehingga isi buku pun tidak diperhitungkan dan leganya secara otomatis dengan naiknya pangkat, gaji pun juga naik.

Upaya naik pangkat sampai berujung ambisi menjadi guru besar atau profesor. Parahnya, gemelut cara dosen atau guru lakukan tidak dibarengi dengan ide kreatif yang inovatif, akibatnya pangkat hanya sekedar pangkat, profesor hanya sekedar atribut profesor atau yang lainnya. Pangkat tinggi, pangilan sudah profesor tetapi kapabilitas masih sama dengan umumnya, yakni hanya menjadi profesor lokal biasa.

Berbeda dengan dosen atau guru besar yang berkapabilitas. Mereka banyak dikenal orang, bukan karena mereka pandai berkampanye, tetapi mereka lebih pandai dalam bidang keilmuannya. Semisal dalam aspek penelitian, jurnal ilmiah, penemuan atau aspek lain pendukungnya. Tidak seperti profesor yang asal jadi profesor yang kreatif tak inovatif. Sehingga berkarya pun asal berkarya tidak memperhitungkan nilai keilmuannya. Tetapi, hal itu lumayan saja karena sudah menjadi profesor daripada tidak jadi profesor, “katanya”.

Dari model guru, dosen hingga profesor saya kira sudah menjadi pelengkap dari diri kita untuk membaca dalam rangka mempelajari pernak-pernik masalah pendidikan ataupun masalah lainnya. Kita dapat mengetahui dan mengevaluasi nasib pendidikan yang menjadi tumbal bisnis para pebisnis jasa ilmu. Bagaimana nasib mutu pendidikan jika pendidikan selalu saja menjadi kabing korban.

Walhasil, jika memang semua orang rata suka pada materilis. Alangkah baiknya jika hal itu dapat terminimalisir dengan bertambahnya keilmuan yang kita miliki. Sehingga guru maupun dosen atau profesor sekalipun dan kebetulan mereka dikatakan menjadi figur lebih dulu dalam mengeyam ilmu pengetahuan. Lebih bersikap seperti ilmuwan terdahulu baik seperti ilmuwan dari barat maupun dari timur, tetapi hal itu sama saja ketika kita membaca tidak mengamalkan.[]


TELAH DIPUBLIKASIKAN DI KORAN PENDIDIKAN Edisi 30 Desember 2008

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.