Tawasul dan Berziarah dalam Aqidah Aliran Wahabiyah

Tawasul dan Berziarah dalam Aqidah Aliran Wahabiyah
Oleh Bayu Tara Wijaya

a. Permasalahan Dalam Aqidah Wahabiyah
Dalam perjalanannya, aliran Wahabiyah yang terkenal dengan anggapan paham yang mempunyai karakteristik dengan paham purinatisme (pemurnian) Islam. Hal ini yang begitu menonjol dalam doktrinnya adalah “Larangan (haram) bertawasul kepada Ulama; kepada orang yang sudah meninggal, dan berziarah ke makam para wali atau ulama dengan tujuan mencari berkah”. Untuk itu mengenai pendoktrinan ini, sangat perlu sekali untuk dikaji sebagai langkah awal permasalahan dalam kajian teologi.

b. History Singkat Aliran Wahabiyah
Dalam berbagai literaur dinyatakan, Wahabiyah seringkali disebut juga dengan “muwahhidun” atau “unitarianisme” yang kali pertama dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M). Istilah ini menunjuk pada gerakan Islam Sunni yang bertujuan pemurnian Islam (purify Islam) dengan bersumber pada praktek-praktek keagamaan yang berlaku umum pada era Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Nama aliran Wahabiyah diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Dia berasal dari keluarga Sunni dari klan Tamim yang menganut madzab Hambali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H./1700 M. Salah satu ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim yang mempraktikkan tawassul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain-lain.

Wahabiyah juga menunjuk identitasnya sebagai ideologi dan bahkan tradisi. Yang berarti, Wahabiyah bukan hanya merupakan madzab resmi yang diberlakukan di tempat tertentu (Saudi Arabia), dan pada saat yang sama, keberadaannya diakui oleh mayoritas penduduk negara tersebut.

Wahabiyah sejak awal mengklaim hadir ke ruang publik untuk mengudar kebali “Islam asli” yang sebelumnya telah tutup rapat oleh beragam religius penuh bid’ah dan kesesatan. Bagi Wahabiyah, Islam asli menunjuk pada artikulasi religiousitas Islam yang dipercayai, dianut dan dipraktekkan oleh Nabi, Sahabat dan Ttabi’in –yang Islam hidup pada aba ke-3 Hijriyah. Sebaliknya, gerakan ini meyakini bahwa releigiousitas Islam yang hadir sesudah masa tabi’in itu bukanlah Islam asli, dan sebab itu harus ditinggalkan. Selain itu, tidak dibenarkan mengikuti dan patuh kepada pendapat ulama setelah era tabi’in (ijma’u la-ulama), karena pendapat mereka tidak merupakan bagian dari sumber hukum Islam.

c. Ajaran Aqidah Aliran Wahabiyah
Purifikasi Islam atau Islam asli diterjemahkan oleh Wahabiyah ke dalam berbagai ragam doktrin teologi (aqidah) Islam. Nasution menyebut, paling tidak terdapat delapan doktrin yang merupakan prinsip dasar aqidah Wahabiyah.

Pertama, yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan semata, dan oleh sebab itu, setiap orang menyambah selain Tuhan adalah musyrik sehingga sah dibunuh.

Kedua, sebagian besar penganut faham tauhid. Alasannya, mereka telah terjerumus ke dalam lubang meminta pertolongan kepada syekh atau wali dan dari kekuatan ghaib. Muslim yang demikian ini, bagi Wahabiyah juga termasuk dalam golongan musyrik dan tentu saja halal dibunuh.

Ketiga, menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga dapat dikatagorikan telah berbuat kemusyrikan.

Keempat, meminta syafaat selain kepada Allah juga termasuk syirik.

Kelima, muslim yang bernadzar kepada selain Allah juga termasuk musyrik.

Keenam, memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an, Hadits dan Analogi (Qiyash) merupakan kekafiran.

Ketujuh, tidak mempercayai Qada’ dan Qadar termasuk dari kekafiran.

Kedelapan, menggunakan ta’wil dalam menafsirkan al-Qur’an termasuk kafir.

Dalam perkembangannya, prinsip aqidah Alian Wahabiyah diterjemahkan ke dalam beragam varian perilaku keagamaan. Abu Zahra’, misalnya, mencatat beragam perilaku keagamaan yang merupakan penjabaran dari prinsip dasar. Di antaranya ada tujuh prinsip:
a). Mereka (Wahabiyah) tidak cukup menjadikan ibadah sebagaimana dalam tuntunan Islam yag terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits atau yang disebutkan Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, mereka menginginkan agar wawasan Islam. Mereka mengharamkan rokok sehingga orang awam dari mereka beranggapan bahwa perokok itu musyrik. Mereka seperti kaum muslim Khawarij yang mengkafirkan kaum muslim yang berbuat dosa besar.
b). Pada mulanya mereka mengharamkan kopi dan sejenisnya, kemudian akhirnya mereka memperingan hal itu.
c). Kaum Wahabiyah tidak terbatas pada da’wah semata, tetapi luas lagi mereka mengasah pedang untuk memerangi para penentangnya dengan alasan memerangi bid’ah-bid’ah adalah suatu kemungkaran yang harus diperangi, harus diluruskan dengan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan juga untuk melaksanakan firman Allah “Kamu adalah umat yang terbaik dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.
d). Gerakan ini menghancurkan setiap bangunan-bangunan kuburan yang mereka dapatkan, baik di desa maupun di kota.
e). Tidak hanya itu, mereka mendatangi kuburan dan memporakporandakan kuburan. Ketika kekuasaan jatuh ditangan mereka di wilayah Hijaz, mereka menghancurkan kuburan para sahabat dan meratakannya dengan tanah, sehingga tidak tampak hingga kini kecuali tanda penunjuk nisan. Mereka hanya memperbolahkan berziarah ke kuburan dengan mengucapkan salam atas ahli kubur dan mengucapkan assalamu’alaika.
f). Mereka terikat hal-hal kecil yang tidak mengandung keberhalaan, tetapi mereka mengharamkannya, seprti mengharamkan photografi, hal seperti itu dapat kita jumpai dalam fatwa-fatwa dan risalah para ulama’nya meskipun pemerintah tidak mengikui fatwa-fatwa (tersebut).
g). Mereka meluaskan pengertian bid’ah secara aneh, sehingga meletakkan tutup di atas kuburan nabi dianggap bid’ah.

d. Kajian Doktrin Aliran Wahabiyah Tentang Tawasul dan Ziarah
Sebagai penganut setia puritanisme Ibnu Taimiyyah merupakan karaktristik yang begitu lekat di Wahabiyah. Dengan semangat kembali ke aqidah salaf, Taimiyyah merumuskan tiga doktrin utama yang dikemudian hari sangat mempengaruhi aliran Wahabiyah. Secara garis besar doktrin tersebut meliputi larangan (haram), bertawassul kepada ulama’, kepada orang yang sudah meninggal, dan berziarah ke makam para wali atau ulama dengan tujuan mencari berkah. Ketiga doktrin tersebut dapat dijabarkan di sini sebagai berikut:

Pertama, doktrin yang megharamkan mendekatkan diri kepada Allah melalui ulama’, orang sholeh atau muslim lainnya. Ibnu Taimiyyah mengawali argumen dengan pendapat Jurjani bahwa “Jadilah anda yang mencari istiqomah bukan yang mencari karomah. Karena jiwamu akan melebihi karomah. Oleh karena itu, istiqomah sangat perlu bagi kita”. Bagi Taimiyyah, pernyataan Jurjani menunjuk secara tegas bahwa, Karomah itu tidak layak untuk dijadikan oleh seorang sholeh sebagai tawasul kepada Allah. Taimiyyah menunjuk pada perilaku Nabi yang menolak memintakan ampunan bagi kaum musyrik, meskipun mereka adalah kaluarga besarnya.

Kedua, meminta pertolongan kepada Allah (istighatsah) melalui orang masih hidup, bagi Ibnu Taimiyah, mutlak dilarang dan haram hukumnya. Bagi Ibnu Taimiyyah, Nabi SAW melarang beristighatsah kepadanya. Diriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani bahwa seorang munafik menyakiti Nabi SAW. Maka Abu Bakar berkata kepada para sahabat: “Marilah kita berdoa dengan beristighatsah dengan Nabi SAW. Maka Nabi menjawab: “Minta pertolongan bukanlah kepada aku tetapi kepada Allah”.

Tidak hanya itu, meminta pertolongan juga sama haramnya. Ibnu Taimiyyah menegaskan kepada setiap muslim tidak boleh meminta sesuatu kepada nabi-nabi dan orang-orang sholeh sesudah mereka meningal dunia, meskipun seandainya mereka itu sangup mendoakan orang-orang hidup.

Ketiga, Ibnu Taimiyyah juga mengharamkan umat muslim yang berziarah makam nabi, auliya’, ulama dan lainnya dengan tujuan meminta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah. Larangan ini didasarkan atas pernyataan nabi yang melarang makamnya dijadikan masjid. Larangan nabi ini dipahami Ibnu Taimiyyah sekaligus mengandaikan larangan berziarah kubur.
Terdapat catatan penting yang mesti diudar dari religipusitas Wahabiyah di atas. Bahwa, begitu mudah memberikan klaim kufur kepada muslim sekalipun yang dipahami berseberangan secara religious dengan Wahabiyah. Mudahnya klaim pengkafiran terhadap sesama muslim diperkuat oleh perilaku keagamaan Wahabiyah yang selalu menarik dirinya ke dalam posisi opisisi biner (berlawan) dengan muslim lainnya. Bahkan, diri Wahabiya selalu diandaikan sebagai arus yang selalu benar dan harus diikuti. Sementara, yang lain –meskipun muslim sekalipun, jika tidak berkesesuaian dengan Wahabiyah, maka masuk dalam kelompok “musyrik”, “kufur” dan pasti, “sesat” dan “menyesatkan”.

e. Kritik terhadap Aliran Wahabiyah
Demikianlah aqidah aliran Wahabiyah, sebagai kelanjutan dari metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokoknya dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam rangka purinatisme Islam atau Islam asli, mereka melakukan berbagai ragam varian dalam memerangi masalah bid’ah, tahayul dan kurafat.

Dalam hal kajian ini, yang menjadi pokok inti permasalahan adalah mengenai “larangan tawasul dan berziarah” yang dipakai dalam aqidah aliran Wahabiyah. Masalah bertawasul sangat bersinggungan sekali pendapat Wahabiyah, karena apa yang diharamkan itu tidak mengandung alasan yang kuat argumentative. Kita kembali pada diri kita, apa benar kita berwasilah itu untuk mendapatkan berkah dari hal yang kita tawasuli. Tapi pandangan Wahibiyah kurang mendetailkan tujuan dari tawasul atau bid’ah yang lain. Mereka hanya memandang sebuah perkataan nabi dari arti tekstual saja.

Bahkan, pendapat mereka mengenai tawasul dan berziarah kubur tidak menganalogikan sebuah permisalan antara orang biasa dan seorang pejabat terkenal. Kita andaikan saja, jika kita hendak bertamu untuk menemui seorang pejabat terkenal tentunya sangat kesulitan sekali jika kita sebagai seorang yang biasa. Sehingga seorang sebagai perantara dalam hal ini juga sangat diperlukan sekali. Istilah seperti ini bisa juga digunakan dalam menghadap Tuhan. Bisa saja kita bertamu kepada Tuhan tanpa adanya tawasul (perantara), tapi syarat yang harus dipenuhi adalah kita harus sudah menjadi penjabat. Artinya kita sudah mempunyai tingkat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi.

Sangatlah tidak mungkin sekali adanya tawasul. Jika kita sudah bisa berenang sendiri dan membuat kapal sendiri kenapa harus numpang pada kapal orang lain. Setuju saja tanpa tawasul tapi introspeksi diri juga perlu dilakukan dulu sebelum berenang sendiri.

Tujuan dari adanya tawasul sebenarnya adalah untuk menhantarkan kita untuk sampai pada Tuhan. Karena hal itu sangat perlu sekali, sebab seorang yang kita jadikan wasilah adalah salah satu orang yang dekat dengan Tuhan, dekat dengan Pejabat, sehingga kita bisa cepat sampai pada tujuan yakni bertamu kepada Tuhan. Selain itu juga mengenai berziarah kubur yang dimiliki oleh para peziarah ketika berziarah ke makam para Muslim biasanya memiliki tujuan untuk mengenang saudara mereka atau mengigatkan mereka untuk mensuritauladani apa yang telah dilakukan oleh para saudara atau para wali yang telah meninggal dunia.

Tujuan-tujuan di atas sama sekali tidak bisa dijadikan alasan bagi Wahabiyah untuk mengkafirkan orang lain. Sebab ketika berziarah, orang bodoh pun, apalagi orang alim, tidak mungkin bertujuan untuk menyembah-nyembah kubur, atau berkeyakinan bahwa penghuni kubur tersebut mampu memenuhi hajat mereka, atau bahkan merealisasikan hajat tersebut. Nabi telah bersabda:

كُنْـتُ نَهَيْتُـكُمْ عَنْ زِيَـارَةِ الْقُبُـوْرِ أَلاَّ فَـزُوْرُوهـاَ فَإِنَّـهَا تُزَهِّـد فِي الدُّنْـيَا وَتُـذَكِّـرُ اْلآخِـرَةَ
“Aku telah melarang kalian untuk menziarahi kubur, ingat! Sekarang berziaralah kalian. Sesungguhnya ziarah bisa menjadikan zuhud dunia dan mengingatkan akhirat”.

Selain itu juga dalam melakukan wasilah atau bertawasul yang diterangkan dalam hadits Nabi, yang itu merupakan suatu jalan untuk bertamu kepada Tuhan, yang mana suatu perantara sangat diperlukan sekali bagi orang yang masih dalam kategori belum tinggi tingkat keimanan dan ketaqwaannya sehingga hal itu sangat perlu. Lebih jelasnya dalam keterangan ini, yang mana tidak diragukan lagi, derajat para nabi berada jauh di atas para syuhada. Mereka juga tetap hidup di sisi Tuhan dan diberi riski. Nabi bersabda:

مَـرَرْتُ بِمُوْسَي لَيْلةَ اُسْـرِيَ بِيْ وَهُـوَ قَائِـمٌ يُصَـلِّيِ فِي قَبْـرِهِ
“Ketika aku diisra’kan aku bertemu dengan Musa. Dia sedang berdiri melakukan sholat di kuburnya”.

الأَنْبِـيَاءُ اَحْـياَءٌ فِي قُـبُورِهِـمْ
“Para Nabi hidup dalam kubur mereka”.

وَمَنْ صَـلَّى عَـلَىَّ عِنْـدَ قَـبْرِي سَـمِعْـتُهُ وَمَنْ صَـلَّى عَـلَىَّ نَائِـيًا اَبْـلَغْـتُهُ
“Barang siapa membaca shalawat kepadaku di dekat kuburku, maka aku akna mendengarkannya. Dan barang siapa membaca shalawat kepadaku di tempat yang jauh maka aku akan menyampaikannya”.

Tampak jelas dari keterangan di atas yang menberi penjelasan pada kaum aliran Wahabiyah termasuk aliran yang keras tidak mempunyai karakteristik agama Islam yang toleransi, ramah, dan moderat. Berbagai dalil akurat yang disampaikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak dengan menggunakan alasan yang tidak argumentative. Lebih dari itu, dia justru mengkafirkan kaum Muslim sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk gurunya sendiri.

Sebagai penguat bahwa aliran Wahabiyah bersifat dehumanisme, adalah sebuah cerita dimana aksi-aksi yang dilakukan mereka sekitar abah ke-18, yakni mereka menghancurkan tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali. Kubah Sayyidatuna Khadijah, serta merobohkan masjid Abdullah bin Abbas. Bahkan mereka pernah berencana meratakan makam Nabi, tapi hal itu tidak terjadi. Selain itu juga mereka berencana menutup ka’bah karena mereka beranggapan bukan menyembah Tuhan tapi Berhala, yang disama artikan dengan menyembah berhala.


f. Kesimpulan
Dari berbagai argumentative di atas, yang menjelaskan bahwa aliran Wahabiyah adalah aliran yang dehumanisme (tidak kemanusiawian), tidak punya rasa toleransi, tidak ramah, dan hanya bersifat ajaran yang keras. Hal itu muncul dari keinginan dari aliran Wahabiyah mencapai pemurnian Islam. Sehingga berbagai gerakan-gerakan dilakukan tanpa memperdulikan humanisme.

Lebih khususnya, ajaran Wahabiyah yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan tawassul, ziara kubur, dan maulid telah dikupas di atas bahwa alasan Wahabiyah mengkufurkan mukmin yang melakukan tawassul, ziarah kubur, dan maulid tidak argumentative. Terlebih adanya gerakan yang tidak manusiawi dan penghancuran-penghancuran kuburan, masjid, dan lain-lain. Telah memberi konstribusi bagi kaum mukmin yang lain untuk tidak bergitu saja langsung percaya dan mempelajari ajaran dari Wahabiyah ataupun ajalan lainnya.

Memang dari ajaran Wahabiyah tujuan awalnya sangatlah baik, buktinya mereka mengharamkan tawassul, ziara kubur, dan maulid dalam rangka ingin menguak dasar dari bid’ah-bid’ah tersebut. Hal ini bisa kita pahami bahwa tawassul, ziara kubur, dan maulid menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan berbagai argumen yang dipaparkan di atas, kegiatan tersebut tidak melanggar agama. Selama mereka yang melakukan tawassul, ziarah kubur, dan maulid serta lain-lainya masih bertujuan yang jelas-jelas tidak mengkufurkan mereka sendiri dan masih sesuai dengan tata ajaran yang di sampaiakan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu, sebagai mukmin yang Islam moderat melihat berarti memahami, memahami berarti mengerti. Sikap yang profesionallah yang lebih pasti.



g. Bibliografi
Hanafi, A M.A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.

Raubaidi, A. Drs. M.Ag. 2008. Radikalisme Islam Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.

Team Kajian Ilmiah Abituren (Tinta). 2007. Polaritas Sektarian; Rekonstruksi Doktrin ‘Pinggiran’. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo.



3 Komentar:

Mujadid said...

saudaraku sayang, kasihan sekali .... pemikiran ente .... ane aja orang biasa bahkan terlalu biasa ngerti maknanya, Allah itu maha mengetahui dan maha segala-galanya.

emang ente mau menyamakan sifat Allah yang MAha mendengar dan MAha Tahu, dengan manusia yang bego kagak bisa ngapa2?
Jadi ente anggap Allah itu butuh perantara karena Allah gak bisa denger dan gak tahu gitu?
jangankan yang ente teriakin bahkan bersitan hati ente aja Allah tahu, aduh bingung ane... ternyata masih ada orang yang bego kelewat bego, padahal ane bego gak bego2 amat.
oyah BAca lagi Qurannya donk jangan di pajang doank ni ane kasih tahu baca QS. az Zumar:3 dan QS. Fathir:13-14.
mudah2an Allah memberikan hidayah dan bisa tetap teguh diatas hidayahnya amiiiin.

ad_dhoif said...

benar memang Allah itu bisa mendengar n melihat, mengetahui segala2nya...
saudara mujadid : tahukah anda kenapa doa kita kadang tidak makbul? Apakah karena Allah tidak mendengar atau tidak tahu? bukan...
tapi karena dosa yang sangat byk didiri kita sehingga menghitamkan diri dan hati kita, untuk itulah kita perlu pertolongan untuk itu (jangan kau artikan pertolongan disini berarti meminta tolong kepada selain Allah)
Taukah anda tiap solat anda mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW?Menurut anda apakah Rasulullah menjawabnya?pasti karena hukum menjawab salam itu WAJIB,tapi knpa kita tidak mendengarnya?karena terlalu hitam diri ini... pikirkanlah ini...

Anonymous said...

nabi muhammad adalah rohmatallil a'lamin : islam tidak mengajarkan seorang muslim memperolok-olokan muslim lainnya.....saling menghormati, semua orang punya dalil masing2....yang berhak memvonis itu hanya Alloh SWT.....

saya setuju dengan pernyataan ad_dhoif , dalam setiap sholat kita harus tau makna dan artinya....contohnya pada tahiyatul ihrom :
Attahiyyatul Mubarakaatush sholawaatuth thayyibatu lillaah, Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh, Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadan rasuulullaah. Allahhumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘ala aali Muhammad”

Artinya:
“Ya Allah, segala penghormatan, keberkahan, sholawat dan kebaikan hanya milik-Mu ya Allah,- Wahai Nabi selamat sejahatera semoga tercurah kepada Engkau wahai Nabi Muhamma, – semoga juga Rahmat Allah dan Berkah-Nya pun tercurah kepadamu wahai Nabii,- Semoga salam sejahtera tercurah kepada kami dan hamba-hamba-Mu yang sholeh. – Ya Allah aku bersumpah dan berjanji bahwa tiada ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau ya Allah, dan aku bersumpah dan berjanji sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan-Mu Ya Allah. – Ya Allah, limpahkan shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad dan limpahkan juga shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad”
“…. kamaa sholaita ‘ala Ibrahiim wa ‘ala aali Ibrahiim, wa baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa baarakta ‘ala Ibrahiim wa ‘ala aali Ibrahiim, innaka hamiidum majiid.”

Artinya:
“…sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan juga kepada keluarga Nabi Ibrahim, dan berkatilah Ya Allah Nabi Muhammad dan berkatilah juga keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Nabi Ibrahim dan juga kepada keluarga Nabi Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Ya Allah Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.