Membangun Sistem Pendidikan Islam Transformatif



Judul : Pendidikan Islam Transformatif
Penulis : Dr. Mahmud Arif
Penerbit : LKiS Yogjakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xiv + 310 halaman
Peresensi : Bayu Tara Wijaya *

“Idealistik terhadap Islam adalah kependidikan Islam saat ini. Budaya dan tradisi pemikir Islam pada masa keemasan merupakan model acuan yang sudah paten, tabu dikaji ulang, dan perlu diikuti secara taklidiah.”
Pernyataan itu adalah penjelasan kependidikan Islam yang lemah akan perkembangan yang transenden. Melirik peradaban bangsa non Islam atau pendidikan di bawah naungan non Islam dibilang lebih maju dalam mencapai perkembangan dan pemekaran. Sikap yang tidak mau menyerah atau idealistik lebih dimiliki pihak non Islam ketimbang Islam sendiri.
Mencuatnya bangunan-bangunan megah, ilmuwan-ilmuwan terkenal dan terpandai semuanya tidak jarang dari warga non Islam atau dari bangsa Barat sampai mendali-mendali kejuaraan diraup oleh mereka. Bukankah, ini sebuah kebanggaan yang mereka dapati dan wajar jika Islam juga bangga dengan kemenangan mendapati idealistiknya. Sampai kapan konsep pendidikan warisan-warisan zaman keemasan Islam tergeletak sebagai acuan baku? Oleh karena itu, tradisi seperti itu semenjak sekarang perlu kita rekonstruksi ulang lagi dengan tidak mengurangi ‘adab’ aturan yang sudah ada dan resmi dalam sumber-sumber hukum Islam.
Ulama salaf menganggap warisan adalah amanah, jadi juga perlu dijaga tidak boleh mengubah-ubah amanah yang ditinggalkan oleh para pendahulu Islam. Kita release kembali, amanah kita atau amanah perkembangan dan pemekaran. Jika dikatakan amanah seperti itu, tidak ada salahnya jika menggodok ulang sebuah tradisi yang ­getol itu.
Pada abad III-V H, pemikiran Islam mencapai zaman perkembangan aliran konservatif, yaitu aliran yang cenderung bersifat “murni” keagamaan, berorientasi kuat pada moral, etika dan mengambil jarak terhadap pengaruh rasional dari luar atau bisa dikatakan epistemologi bayani. Efeknya pertautan antara epistemologi bayani dengan pendidikan Islam terrasa minim apresiasi terhadap keilmuan intelektual. Sistem dikotomik ini menjadi warisan turun-temurun, sehingga keilmuan intelektual tidak meresap jauh ke dalam kesadaran karena dominasi “nalar” teologis.
Pada dataran teoritik-konseptual, implikasi bayani dapat dilihat pada stagnasi (kemandekan) konsep pendidikan Islam. Formulasi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultur-performatif yang berkaitan langsung dengan dinamika praktis sosial-budaya. Kita perlu pertegas jati diri Islam untuk penyadaran dan pemberdayaan epistemologi pendidikan Islam –yang disebut dengan epistemologi pendidika Islam transformatif– dengan memadukan secara sinergis-dialektis dalam kerangka humanisasi, leberasi, dan transendensi.
Semenjak masa keemasan Islam usai, “intelektulisme Islam” mengalami kemandulan pendidikan Islam. Dalam hal ini, pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pembudayaan, yaitu proses pengembangan dan pemekaran potensi kreatif yang berlangsung dalam pengalan sejarah budaya masyarakat muslim tertentu. Melalui pendidikan Islam, budaya masyarakat muslim semestinya bisa tetap eksis, dinamis, dan progresif dan bukan justru sebaliknya, statis dan stagnan. Sebab, jika kondisi statis dan stagnan berlangsung maka “intelektualisme Islam” sebagai esensi pendidikan Islam berarti telah menyurut.
Hal ini terbukti hingga kini, nalar bayani masih begitu mendominasi di dunia pemikiran dan penduduk Islam. Tak pelak lagi, jika sikap intoleran dan ortodoksi agama pada gilirannya dianggap sebagai dua faktor yang paling bertanggung jawab atas musnahnya lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang pernah jaya di dunia Islam. Terkait pentingnya pendidikan Islam, paling tidak terdapat dua model praktis yang perlu dikembangkan yaitu pertama, model tajdid yang cenderung bercorak substraktivistik sehingga pendidikan Islam bisa mengapresiasikan pengembangan pemikiran kreatif-kontekstual, pembaharuan, dan rekosntruksi sosial. Kedua, model tathbiq yang cenderung bercorak totalitas dan tekstual.
Kedua model tersebut, akan mengantarkan pada pendidikan Islam yang transformatif. Lembaga-lembaga pendidikan atau pendidiknya perlu memiliki model pembelajaran yang ‘multi’, artinya bukan sekedar teknologinya yang maju dan berkembang tetapi juga sisi intelektualismenya juga dikembangkan.
Pendidikan Islam Transformatif, merupakan hasil penelitian (disertasi) yang secara epistemologi dapat mengapresiasi dan menyinergiskan antartiga sumber pengetahuan yakni indera, akal dan wahyu untuk mengeksplorasi dan merespon akselerasi dinamika dan keragaman realitas empiris sehingga pendidikan Islam tidak lagi dinilai sebagai produk final dan eksklusif.
Dengan hubungan yang saling mengisi tersebut, watak holistik dan integralistik dapat dikembalikan kepangkuan epistemologi pendidikan Islam. Mengingat hal yang paling terlantarkan di dalam sejarah pemikiran Islam hingga dewasa ini adalah prinsip saling melengkapi.
Selain itu juga, tawaran penintegrasian antara epistemologi bayani,atau “perspektif” dan “metode” dengan epistemologi irfani atau “intuisi” serta dengan epistemologi burhani atau “rasionalitas” memberi solutif pendidikan Islam yang lebih performance dihadapan dunia. Realisme-praktis dalam pengintegrasian tentunya tidak lepas dengan adanya historis-filosofis sebagai ‘tameng’ penjaga keluwesan pemikiran Islam.
Walhasil, sebuah karya bisa tampil lebih sinergi jika kandungannya merupakan hasil dari buah hasil penelitian. Tidak diragukan jika layouter sebagai retorika dalam berkarya yang tidak asal-asalan.

*) Bayu Tara Wijaya
Staff pada Institute of Studies, Research and Development for Student (ISRDs), Malang

(telah dimuat di Koran Pendidikan Edisi 8-13 Oktober 2008

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.