MATEMATIKA EDUKATIF
HAKIKAT MATEMATIKA
Selama ini kita banyak mendengar tentang betapa penting suatu ilmu pengetahuan, dan pengetahuan tersebut merupakan suatu kumpulan-kumpulan bahan mentah kita untuk menghasilkan sebuah Ilmu yang baru bagi kita. fenomena yang terjadi selama ini, masih ada beberapa disiplin Ilmu pengetahuan yang masih dianggap menjadi ilmu yang tidak sopan dengan ciri khas yang disamakan dengan hantu.
Dalam hal ini, kita berbicara mengenahi Matematika yang juga merupakan salah satu dari bagian Ilmu Pengetahuan, tapi kenyataan di masyarakat matematika dirasa kurang bisa bersahabat dengan peserta didik. Terlebih di dunia pendidikan tingkat sebelum kampus, bahwa yang di Jurusan Matematika sendiri kadang masih ada yang merasa seperti itu. Tahu atau tidak tahu, matematika sesungguhnya bersifat mempunyai universal of knowledge. Dengan karakter seperti ini semestinya, matematika menjadi penting sekali dengan ke-fleksibel-annya bisa menjadi bagian-bagian di seluruh ilmu pengetahuan.
BUKTI ADANYA MATEMATIKA
Mari bermain di dunia matematika, secara tidak sadar kita sudah sering bergaul dengannya. Dunia yang tertata secara matematis, merupa bukti pentingnya ada metamtika. Simbol-simbol matematis juga sering kita jumpai di sekeliling kita. Ketika sedang berjalan saja, berapa banyak simbol-simbol yang kita temui. Inilah bagian kecil dan simpel bukti adanya matematika.
Matematika adalah bahasa yang universal, mempunyai kebenaran ilmiah yang tidak terbantahkan. Jadi apakah geosentris, atau heliosentris, maka, itu semua hanya menjadi perkara titik pangkal koordinat. Demikian pula dengan pemikir-pemikir di masa tersebut akan selalu berpegang pada kebenaran matematika, alih-alih berdebat kusir tentang yang mana yang benar. Perumusan matematika oleh Ibnu Al-Shatir ini yang kemudian, (dipercaya?) menjadi pondasi perumusan matematis Copernicus untuk memperkenalkan model Heliosentris-nya.(Anonim, 2006)
Matematika dan Pendidikan
Pola pembelajaran yang berkembang di dunia pendidikan saat ini telah membuka khazanah nalar kita. Khazanah tersebut mengalir pada pikiran kita tentang pendoktrinan dalam sistem pendidikan yang diterapkan oleh sebuah instansi pengelolah pendidikan –sekolah– yang berupa kurikulum. Dirasa adanya timpang tindih, model kurikulum saat ini mengakibatkan para anak didik mengalami tekanan psikologisnya.
Perjalanan kurikulum yang bersifat otoriter terhadap anak didik, menjadikan mereka terpenjara dalam pengembangan kreativitas dan dalam menemukan jati diri anak didiknya. Tentunya untuk mencapai nilai plus –biasanya berupa hasil ujian akhir– menjadi ukuran keberhasilan suatu proses pendidikan untuk saat ini. Sehingga dari evalusi yang kurang menyeluruh ini mengakibatkan tingkat keberhasilan hanya terlihat pada angka, bukan pada aktualisasinya
Pernahkah terbayangkan, apakah kita akan tenang untuk melakukan sesuatu jika kita ketakutan, gelisah, tertekan, dan kawan-kawannya. Maka dari itu, belajar matematika seharusnya tidak seperti itu. Sehingga belajar matematika dibutuhkan ketengan, dibutuhkan kesenangan, dan dibutuhkan rasa yang inovatif.
Selama ini kita banyak mendengar tentang betapa penting suatu ilmu pengetahuan, dan pengetahuan tersebut merupakan suatu kumpulan-kumpulan bahan mentah kita untuk menghasilkan sebuah Ilmu yang baru bagi kita. fenomena yang terjadi selama ini, masih ada beberapa disiplin Ilmu pengetahuan yang masih dianggap menjadi ilmu yang tidak sopan dengan ciri khas yang disamakan dengan hantu.
Dalam hal ini, kita berbicara mengenahi Matematika yang juga merupakan salah satu dari bagian Ilmu Pengetahuan, tapi kenyataan di masyarakat matematika dirasa kurang bisa bersahabat dengan peserta didik. Terlebih di dunia pendidikan tingkat sebelum kampus, bahwa yang di Jurusan Matematika sendiri kadang masih ada yang merasa seperti itu. Tahu atau tidak tahu, matematika sesungguhnya bersifat mempunyai universal of knowledge. Dengan karakter seperti ini semestinya, matematika menjadi penting sekali dengan ke-fleksibel-annya bisa menjadi bagian-bagian di seluruh ilmu pengetahuan.
BUKTI ADANYA MATEMATIKA
Mari bermain di dunia matematika, secara tidak sadar kita sudah sering bergaul dengannya. Dunia yang tertata secara matematis, merupa bukti pentingnya ada metamtika. Simbol-simbol matematis juga sering kita jumpai di sekeliling kita. Ketika sedang berjalan saja, berapa banyak simbol-simbol yang kita temui. Inilah bagian kecil dan simpel bukti adanya matematika.
Matematika adalah bahasa yang universal, mempunyai kebenaran ilmiah yang tidak terbantahkan. Jadi apakah geosentris, atau heliosentris, maka, itu semua hanya menjadi perkara titik pangkal koordinat. Demikian pula dengan pemikir-pemikir di masa tersebut akan selalu berpegang pada kebenaran matematika, alih-alih berdebat kusir tentang yang mana yang benar. Perumusan matematika oleh Ibnu Al-Shatir ini yang kemudian, (dipercaya?) menjadi pondasi perumusan matematis Copernicus untuk memperkenalkan model Heliosentris-nya.(Anonim, 2006)
Matematika dan Pendidikan
Pola pembelajaran yang berkembang di dunia pendidikan saat ini telah membuka khazanah nalar kita. Khazanah tersebut mengalir pada pikiran kita tentang pendoktrinan dalam sistem pendidikan yang diterapkan oleh sebuah instansi pengelolah pendidikan –sekolah– yang berupa kurikulum. Dirasa adanya timpang tindih, model kurikulum saat ini mengakibatkan para anak didik mengalami tekanan psikologisnya.
Perjalanan kurikulum yang bersifat otoriter terhadap anak didik, menjadikan mereka terpenjara dalam pengembangan kreativitas dan dalam menemukan jati diri anak didiknya. Tentunya untuk mencapai nilai plus –biasanya berupa hasil ujian akhir– menjadi ukuran keberhasilan suatu proses pendidikan untuk saat ini. Sehingga dari evalusi yang kurang menyeluruh ini mengakibatkan tingkat keberhasilan hanya terlihat pada angka, bukan pada aktualisasinya
Pernahkah terbayangkan, apakah kita akan tenang untuk melakukan sesuatu jika kita ketakutan, gelisah, tertekan, dan kawan-kawannya. Maka dari itu, belajar matematika seharusnya tidak seperti itu. Sehingga belajar matematika dibutuhkan ketengan, dibutuhkan kesenangan, dan dibutuhkan rasa yang inovatif.
1 Komentar:
saya sangat setuju dengan apa yang telah ditulis oleh Gus Bay. pendidikan di Indonesia sepertinya memang hanya mengandalkan aspek penilaian kognitif saja tanpa memperhatikan aspek penilaian lain seperti afektif misalnya. padahal kita tahu bahwa nilai-nilai yang diperoleh pada saat ujian akhir seringkali diperoleh dari ketidakjujuran. tulisannya bagus, tapi lebih baik suatu hal yang belum pernah disinggung, cari hal-hal yang baru, spirit.......!!!!!!!!!!!!
Post a Comment