Ketika Kyai Bertengkar

Ketika Kyai Bertengkar!


Judul Buku : Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai

Penulis : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo

Penerbit : UIN-Malang Press

Cetakan : Maret 2009

Tebal : xii + 334 halaman

Peresensi : Bayu Tara Wijaya*

Pada percaturan politik yang ada di pemilu negara kita, yakni dari pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu saat ini tahun 2009, perdebatan kyai dan politik menjadi perdebatan yang tidak pernah ada surutnya. Sempat, beberapa kali ada tulisan di media massa yang mengritisi artikel Saiful Amin tentang Percaturan Politik Kyai, dalam artikel tersebut Saiful tidak menyetujui kyai andil dalam politik. Sebab, urusan kyai adalah orang yang cenderung mengurusi di bidang agama Islam, tentu wilayah kerjanya di pesantren, sedangkan pakar politik cenderung dekat dengan pemerintahan, yang wilayah kerjanya di pemerintah.

Selaras dengan peran kyai dalam politik, beberapa kyai sudah mewarnai dalam pemilu legislatif 2009. Pada pemilu, partai yang berbasis Islam misalnya PKB, PKNU, PAN, PPP, PKS dan lain sebagainya hampir tidak lepas dari peran dari kyai. Keberangkatan kyai yang memiliki corak berbeda-beda dalam mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Ada yang berangkat dari partai politik berbasis Islam, itupun bukan hanya dari satu golongan madzab dalam Islam, ada pula yang berangkat dari partai politik berbasis nasional, dan masih banyak peran kyai yang terlibat dalam politik meskipun tidak menjadi calon legislatif.

Keterlibatan langsung kyai dalam politik bukan hanya pada pemilu saat ini, tetapi pemilu-pemilu sebelumnya juga sama. Bahkan dahulu ada beberapa kyai yang sempat merintis dan mengembangkan organisasi politik Islam di tanah air seperti Masyumi, MIAI, PSII, Perti. Maka wajar kalau banyak kyai yang dikenal sebagai pejuang, seperti pada zaman dahulu KH. Hasyim Asari dan KH. Ahmad Dahlan, yang kemudian di kenal sebagai perintis organisasi Islam terbesar di Indonesia –Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Dari anotasi keterlibatan atau kita sebut relasi antara kyai dan politik senantiasa menjadi hal yang menarik. Persoalan keterlibatan kyai dalam berpolitik harus dilihat dalam perspektif relasi antara Islam dan politik sebagai suatu yang tidak dapat dipisahkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seharusnya sikap kyai dalam politik?

Buku Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, yang merupakan hasil penelitian Prof. Dr. H. Imam Suprayogo sebagai persyaratan tugas akhir pascasarja program doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UNAIR. Tentunya buku ini merupakan karya ilmiah yang sudah tidak diragukan lagi keaslihan dan validitas dalam kajiannya, sehingga dapat memberikan penjelasan secara generalisasi keterlibatan kyai dalam politik.

Uraian yang dijelaskan dalam buku ini, sekurangnya ada lima pandangan mengenai politik. Menurut Surbakti (1992), pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

Namun, hemat Suprayogo dari hasil penelitiannya, politik lebih tepat menggunakan pandangan ketiga dan kelima, yaitu politik sebagai kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat dan politik sebagai usaha untuk mendapatkan nilai-nilai. Sebab, kyai sebagai elite agama memiliki jiwa pemimpin yang memerlukan otoritas penuh, dan terlibat dalam peran-peran sosial untuk kepentingan masyarakat.

Tipologi Kyai

Kasus keterlibatan kyai dalam politik banyak variasi-variasinya. Ada kyai melakukan peran advokasi terhadap kepentingan umat dan membela terhadap rakyat lemah dalam menghadapi persoalan. Kyai menjadi mitra pemerintah, ketika melakukan legitimasi terhadap kebijakan pemerintah. Kyai sekedar reference person, bilamana para kyai dianggap sebagai bahan rujukan dalam bersikap dan bertindak oleh masyarakat luas. Atau kyai juga sebagai mediator di antara kelompok-kelompok kepentingan, bilamana kyai bertindak menjadi penghubung antara berbagai kelompok kepentingan.

Tipologi bentuk keterlibatan kyai dalam politik secara mencolok terjadi setelah tahun 1970-an. Sebelum itu, para kyai pada umumnya berada pada posisi homogen, yaitu berada pada organisasi sosial atau politik yang memiliki ciri khas keagamaan (Islam). Dengan demikian jika kyai tidak berada pada organisasi itu akan dianggap bukan sebagai tokoh agama. Pada Orde Baru, seiring berkembangnya politik ditubuh keagamaan, pemerintah mengukuhkan organisasi pemerintahan yakni Golkar. Sebab, pada tahun itu, berkembanglah wadah aktivitas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Dakwah Islam (MDI), dan lain sebagainya.

Mengenai peran kyai dalam politik, Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR RI pada seminar nasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, ketika mendapat pertanyaan tentang kyai berpolitik pada seminarnya, ia menyatakan bahwa “Politik ibarat pakai kotor, maka jika pakaian tersebut dicuci dengan yang kotor pula, tidak akan menjadi bersih.” Tafsirnya, ketika ada yang membincang bahwa politik itu kotor, maka dengan kedatangan atau keterlibatan kyai menjadi pembersih dari politik yang kotor tersebut. Sehingga, peran kyai dalam berpolitik sangat urgent sekali.

Walaupun kyai dalam berpolitik, sering terjadi persaingan, percaturan, pertengkaran, perebutan, dan sebutan lainnya. Tentunya, itulah tipologi dari para kyai. Namun, kita percaya bahwa kyai yang teribat dalam pertengkaran politik, masih membawa nilai-nilai perjuangan Islam. Sebagaimana pandangan politik yang diungkap oleh Suprayogo bahwa politik kyai dalam rangka mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat serta sebagai usaha untuk mendapatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, kita patut mengapresiasikan atas kehadiran buku ini, yang mencoba memberikan konstribusi terhadap pandangan masyarakat terhadap kyai yang terlibat dalam politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, peran kyai tidak lagi diperdebatkan.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.