Education for Human humanise

Pendidikan untuk Memanusiakan Manusia
Oleh Bayu Tara Wijaya

Sebuah realita yang sudah mentradisi dikalangan pendidikan kita. Ketika seorang guru menginginkan nilai matematikanya tinggi. Di sisi lain, guru bahasa inggris juga menginginkan nilai bahasa inggrisnya tinggi, begitu pula guru-guru mata pelajaran lainnya.

Suatu kewajar, guru menginginkan muridnya untuk mendapatkan nilai tinggi. Namun sangat disayangkan, apabila seorang guru memaksakan muridnya untuk mendapatkan nilai tinggi. Sedangkan, paksaan tersebut tidak dilandasi dengan kemampuan seorang guru untuk memahami atas kemapuan muridnya. Akhirnya, ketika salah satu muridnya tidak menuruti kemauan gurunya, giliran guru memarahi dan menghukum murid. Sudahkan guru mengevaluasi, kenapa murid-muridnya tidak menuruti kemauannya (guru)? Sudahkan guru mengetahui keinginan dan kemampuan muridnya?

Perlu disadari, perkembangan seorang murid jelas memiliki kapabilitas yang berbeda antara sesama murid lainnya. Ada kalanya murid suka dengan suasana belajar yang penuh dengan puzzle, café-café learning, describing picture, atau lain sebagainya dan ada yang tidak suka dengan hal itu semua.

Bukan hanya kesukaan murid terhadap suasana belajar saja, tetapi terhadap mata pelajaran pun akan sama. Contoh, ada murid yang lebih suka mata pelajaran matematika, tetapi tidak suka mata pelajaran bahasa inggris, ataupun lainnya. Nah, hal seperti ini, tentu guru harus benar-benar menyadari dan menevaluasi atas tipe murid seperti contoh tersebut. Tugas guru, yang notabene sebagai seorang pendidik (educatif), pembimbing, dan pengajar (transfer of knowledge) serta pengawas (keeping) atas kondisi jiwa muridnya.

Seperti inilah guru yang sewajarnya (ideal). Tidak akan ada murid yang merasa takut dengan salah satu atau bahkan semua guru yang mengajarnya. Dan guru pun akan menyadari bahwa murid-muridnya memiliki keunikan sendiri-sendiri. Kekerasan, pemaksaan atau sikap lain yang tidak sepantasnya dilakukan di dunia pendidikan akan lebih terminimalisir untuk terulang.

Sebagai pihak yang lebih dahulu dalam mengenyam pendidikan. Tentu kita merasakan bagaimana pendidikan kita saat ini? Dunia pendidikan sudah melupakan bahwa yang menikmati pendidikan adalah manusia. Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral.

Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru dan umumnya adalah kita. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.

Robot Pendidikan
Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.

Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia. Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.

Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.

Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita? Itu adalah pertanyaan yang sering saya munculkan ketika semasa saya sekolah. Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.
Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.

Realita kongkret, pada hasil UN tahun ini, sekolah-sekolah yang bertaraf lokal—katakan saja tidak sekolah bertaraf internasional atau SBI—masih dapat menduduki peringkat terbaik. Seperti, salah satu SD yang berada di pedesaan, muridnya mendapatkan hasil UASBN terbaik kedua se-Jawa Timur. Tatkala pentingnya kapabilitas mengajar seorang guru sangat dinomorsatukan dalam pendidikan, sebab ketidakmampuan guru dalam mengajar sama halnya membodohkan murid, atau kata lainya adalah pembodohan.

Walhasil, cermatan-cermatan sebagai bahan referensi berpijak lebih jauh yang akan lebih baik semoga tetap tercapai. Sebagai upaya mencerdaskan dan mendewasakan penerus bangsa, peran lembaga pendidikan yang baik dan benar berdasarkan landasan filsafat pendidikan perlu kita ulas kembali, guna kebenaran atas pendidikan untuk manusia. Majulah pendidikan kita.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.