HARDNESS OF RIGHTS
Keinginan antara sesama yang se-identik masih juga berbeda. Berbagai kepentingan menjadi andalan dalam mengalahkan hak sesama. Cuplikan dalam akademika Islam yang beriringan dengan perkembangan sains menjadi simbol perjuangan masa kini. Berbagai model efek yang ditimbulkan dari stigma yang ingin mencapai kepentingan yang berimpliksi terhadap kekerasan hak sesama.
Tengoklah sebelah kanan-kiri kita. Kepentingan mengintegrasikan Islam dan Sains dijejalkan dalam proses berfikir independent kita saat ini. Terpenjaranya dan free thinking terbatasi oleh rambu-rambu visi dan misi pilar kebanggaan kurikulum.
Hak dalam proses pendewasaan semestinya tidak terpaku pada suatu sistem aturan. Sebagai pejuang calon cendikiawan, berhak mengaktualisasikan diri dalam proses berpikir statis, tidak terpaku pada kurikulum yang cuma dirancang. Pengekangan berpikir adalah wujud dari kekerasan hak, penindasan hak, dan pentidakhormatan hak.
Selama ini, kita dibungkan degan fasilitas modern yang memcoba kita diam dalam sangkar penindasan. Hak suara berpuisi hampir terpatahkan dengan ilusi rayuan. Semuanya hanyalah akan membawa kita untuk diam dan diam dalam menerima penindasan secara halus. Di rasa tidak ada yang dirugikan, jika kita hanya berpandangan terlalu Jabariyah atau terlalu pasrah. Maka yang muncul adalah kita terbodohi oleh rayuan.
Jika kita lebih fleksibel dalam berfikir, tentunya kita merasakan kerasnya hak orang lain yang menindas hak kita. Tanpa kita sadari, hampir setiap hari kita terbelenggu dalam syari’at.
Berbagai contoh mengenahi konflik-konflik yang bermunculan dalam lingkup akademika kita. Sebagai calon cendikiwan, hak berpikir kritis, hak berpikir kritik tentunya tidak disalahkah. Awal dari kebenaran adalah adanya suatu kesenjangan. Tidak akan ada hal baru atau ilmu baru jika tidak diwarnai dengan warna hitam sebelumnya.
Untuk itu sebagai refleksi para penggemar otak-atik otak, kesempatan dalam menaktualisasikan diri sangat bebas sekali. Tapi perlu juga diingat, sebagai kaum terpelajar tentunya juga harus tahu tata cara bahkan tata krama menuangkan otak-atik otak tersebut. Jalan ilmiah dan rasionalis sementara ini menjadi jalan untuk wadah aspirasi. Boleh saja dikatan, tidak semuanya hal iu bersifat empirik tapi minimal kebesaran jiwa yang prophertic ada dalam diri kita.
Kiranya, hak yang terbungkam bukan berarti patent dalam kebadian. Selama ada cara yang baik, kenapa tidak hal itu bisa ditempuh. Umat yang menerima akan memberi, umat yang memberi akan menerima. Suatu mutiara pendingin hati perlu ditanamkan, bukan mutiara pemanas hati yang dikobarkan. Untuk itu, perenungan tidak cukup jika tanpa aksi.
0 Komentar:
Post a Comment