Falsafah Kemerdekaan Dulu (sejarah)

Wenehono teken marang wong kang wuto
Wenehono pangan marang wong kang kaluween
Wenehono payung marang wong kang kudanan
Wenehono sandang marang wong kang kawudonan
Ukiran kayu berada di samping makam Sunan Drajat adalah falsafah bijak dari bahasa Jawa yang dibawa oleh seorang pemimpin bijak. Falsafah tersebut memunculkan kharisma perdamain dan kemerdekaan pada zamannya. Dulu (sejarah) banyak kisah perjalanan para wali terkenal dengan sikap bijak mereka. Ajaran atau falsafah mereka dijadikan sebagai tombak runcing melawan ke-bathil-an. Sehingga tidak ada kemenangan puncak kecuali kemenangan jaya yang bijak.
Dulu (sejarah) beda dengan sekarang, negara tandus akan pemimpin yang mampu membawa perubahan lebih maju. Secara nyata, lingkungan terlihat indah dengan kemegahan perubahan pembangunan. Tapi kemegahan bukan nampak di mata melainkan pada nilai estetika. Hal berbeda, karena ada kepentingan berbeda pada pribadi bijak dulu dengan sekarang, yakni kemerdekaan untuk umat adalah kepentingan para bijak yang dulu. Tetapi ketika bijak yang sekarang, kepetingan selalu kembali pada kepentingan diri.
Realita yang membedakan rentang bijak yang dulu (sejarah) dengan bijak sekarang. Meskipun suara yang dilantangkan bersuara untuk umat, tetapi selalu ada udang dibalik duit pemberian. Falsafah ajaran wali sanga khususnya ajaran Syekh Raden Qosim terkenal dengan sebutan nama Sunan Drajat memakai falsafah sebagai instrumen refleksi dan taqorub pada Sang Khalik. Beliau adalah salah satu dari nama sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Ajaran yang diberikan selalu bersifat nilai-nilai, tidak langsung mengajarkan secara takhlidi yang harus diikuti tanpa tahu sebab mengikuti dan yang membuat jerah kaum awwam.
Sebelum Syekh Raden Qosim datang ke Banjarwati –sebutan desa Sunan Drajat sekarang– masyarakat rentan sekali dengan budaya-budaya tidak bermoral. Masyarakat sering menentang larangan ‘mo-limo’, artinya mereka suka melakukan nyolong atau mencuri, maen atau judi, nginum atau minum-minuman keras, madat atau memakai narkoba dan madon atau berzina. Tetapi dengan sikap bijak Syekh Raden Qosim hati masyarakat bisa mengembur untuk bersikap tidak bathil. Hal demikian terwujud, atas para wali ajaran dalam mengajarkan tidak mengajarkan ajaran secara ortodoksi dan akhirnya tidak diterima masyarakat.
Lain hal juga diajarkan oleh Sunan Kalijaga, beliau memakai wayang yang ‘dilakonkan’ dengan meresapkan nilai-nilai Islam. Seperti dalam Serat Babad diceritakan bahwa Sunan Kalijaga memasukkan Jimat Layang Kalimasada (kalimat sahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan Amarta (Pandawa) dalam pewayangan. Padahal dalam jimat sudah jelas merupakan pemikiran budayawan Jawa dalam memberikan legalitas sahadat pada cerita pewayangan. Atas metode pewayangan tersebut, masyarakat tidak canggung kaget dengan hal yang baru masuk pada pemikiran yang sudah terkonstruksi lama dengan ajaran budaya lama mereka seperti menentang larangan ‘mo-limo’ tersebut.

Proses Ajaran
Eksistensi ajaran wali sanga hingga saat ini masih tertanam pada masyarakat Islam terutama masyarakat di wilayah pesisir pulau Jawa. Mulanya sekitar abad VII, pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India sampai di pulau Jawa untuk menjalin hubungan perdagangan rempah-rempah, cengkeh, pala, dan lainya melewati jalur laut Samudera Hindia. Perdangangan berkelanjutan lama hingga banyak para pedagang singgah di sekitar wilayah perdagangan. Hingga terjalin sebuah interaksi sosial-budaya antara pedagang asing dengan masyarakat pribumi. Dari sini Islam mulai masuk pada kubu pulau Jawa dan memberikan beberapa warisan ajaran yang dipakai sebagai falsafah kehidupan.
Proses halus peresapan falsafah diterapkan para wali dalam menyebarkan agama Islam. Dengan demikian masyarakat bisa dengan mudah bersandar pada ajaran wali. Bahkan dengan proses halus tersebut, masyarakat tidak bisa merasakan resapan ajaran, bahwa mereka tidak sadar sudah menjalankan beberapa nilai-nilai yang diwariskan para wali. Mereka (masyarakat) hanya bisa merasakan kondisi lingkungan mereka yang berubah nyaman, tentram dan damai.Walaupun, secara hakiki mereka menjalankan nilai-nilai Islam tanpa sadar.
Patut kita putar kembali naskah narasi kemerdekaan yang diwariskan para wali. Negara kita saat ini sangat butuh dengan kemerdekaan jaya yang bijak. Pemimpin-pemimpin yang menawarkan diri sebagai pemberi kemerdekaan selalu gagal menjalankan naskah pribadinya. Rancangan undang-undang yang dibuat bersama menteri-menteri professional tidak mulus ketika di lapangan (realita).
Gagal
The best planning setelah kemerdekaan 1945 berkelanjutan pada pembangunan nasional gagal menjadi perubahan sosial. Wujud perubahan sosial ada dua yakni perubahan ke arah positif dan ke arah negatif. Artinya ketika kita lihat kerapnya proyek-proyek pembangunan tidak bisa mengentaskan krisis dan kemiskinan berarti pembangunan nasional pada saat ini adalah perubahan sosial yang negatif.
Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda dan 10 tahun Reformasi tidak menjadi sejarah penting pada saat ini. Banyaknya pemuda yang menjadi proklamator peristiwa tersebut kandas dengan ketidakpastian pemimpin yang bervisi dan misi bijaknya.
Perlunya estimasi serius ketika warga negara Indonesia tidak bangga dan tidak bisa bersatu kembali dalam mencapai tujuan pembangunan nasional berketepatan pada peristiwa-peristiwa dulu (sejarah). Produktivitas karya Kebangkitan Nasional tidak lagi membangkitkan semangat nasional, Sumpah Pemuda tidak lagi menyatukan pemuda, dan Reformasi tidak lagi membaik hingga saat ini. Dengan demikian, kepedulian kita pada bangsa masih dipertanyakan. Adanya karya-karya demi bangsa berharap kemerdekaan bijak, dan penghargaan yang paling berharga terhadap karya tersebut adalah memperjuang tujuan karya.
Barangkali falsafah yang dibawa Raden Qosim patut kita renungkan dan kita tafsir kembali, untuk memahami dan menjalankan makna tersirat pada falsafah bijak, serta mengajak kita untuk menghargai karya kemerdekaan yang tidak kunjung datang merdeka. Sehingga atas kebijaksanaan kita, rasa gersang kemerdekaan bisa kembali basah dengan siraman dulu (sejarah).



*) Bayu Tara Wijaya
Staf Litbang pada Institute of Studies, Research and Development for Student (ISRDs), Malang

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.