Prestisius Perempuan dari Kartini dan Soekarno

Prestisius Perempuan dari Kartini dan Soekarno

Judul Buku : Perempuan di Mata Soekarno
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, ar-Ruzz Media Group –Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 161 halaman
Peresensi : Bayu Tara Wijaya*

Mendengar kata “perempuan”, teringat dengan clotehan orang yang lemah, tak berpendidikan, pemuas lelaki, dan masih banyak lagi hinaan terhadap perempuan. Kasus-kasus bermunculan dan menyudut langsung pada perempuan. Kasus seorang TKW asal Indonesia beberapa pekan lalu diduga telah diperkosa 46 orang pria di Arab Saudi. Kemudian Ia melarikan diri dari tempat penampungan di al-Nuzha, Mesir (Media Indonesia, 13 Maret 2009).

Bersamaan, dua mahasiswi peroleh hadiah perjalanan ke Prancis untuk menghadiri hari sedunia Frankofoni atau kita sebut hari penutur bahasa Prancis. Kedua mahasiswi tersebut Siti Ditta Sylvana dari Universitas Pendidikan Indonesia sebagai juara pertama dan Darweni dari Universitas Nasional Yogyakarta sebagai juara kedua pada lomba bahasa Prancis se-Indonesia (baca: Indonesia, 25 Maret 2009).

Cerita duka dan suka perempuan Indonesia yang menggelembung di catatan merah sejarah. Sepatutnya, kita prihatin ulang, siapa perempuan sebenarnya? Kebanggaan (Prestisius) perempuan Indonesia, kadarnya harum setelah perjuangan mereka. R.A. Kartini, salah satu perempuan pejuang yang terobsesi pada cita-cita untuk memberikan pendidikan pada kaum perempuan –salah satu sejarah pejuang perempuan. Kemudian Kartini menggenjotkan perjuangan untuk menyuarakan pendidikan untuk perempuan.

Inisiatif-inisiatif Kartini kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Dewi Sartika dan Rohina Kudus. Dewi Sartika lahir pada 1 Desember 1884 dan wafat pada 11 September 1947. Ia mendirikan sekolah pertamanya pada 1904 dengan nama Sekolah Istri dan selanjutnya diubah menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Alhasil, hingga 1912, Dewi Sartika telah mendirikan sembilan sekolah, jumlah yang mencapai 50 persen dari keseluruhan sekolah di Pasundan.

Buku Perempuan di Mata Soekarno yang ditulis oleh seorang perempuan pula, dan menjabat sebagai direktur Global Education Center (GEC), yakni Nurani Soyomukti. Uraian yang memutar ulang gerakan perempuan sebelum dan sesudah kemerdekaan beserta beberapa pemikiran Bung Karno tentang perempuan dan feminisme. Merambat ulas dari gerakan kebangkitan kesadaran perempuan yang lama mengalami kontradiksi dari kesetaraan.

Perempuan pada zaman kerajaan-kerajaan Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam relasi politiknya dan memiliki penghargaan dalam kesetaraan yang cukup adil di zamannya saat itu, contoh kongkret adalah bagaimana besarnya peranan panglima perang perempuan Aceh Malayahati (1545-1604M) pada masa pemerintahan Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV, jauh sebelum Tjoet Nyak Dien, jauh lagi sebelum itu ada Ken Dedes, Ratu Shima (640M) dari Kalingga –sekarang Jepara.

Feodelisme vs Modern

Kartini, yang menempatkan dirinya secara universal tentang sebagai kaum perempuan dan manusia. Meskipun ia insaf dari bangsawan Jawa. Kartini pada saat zamannya, justru terkungkung oleh tatanan feodal (kebangsawanan), yang membuat Kartini bertanya dan menggugat tradisi-tradisi yang berkembang untuk memasung kemanusiaan. Kartini tidak membanggakan diri karena ia keturunan keluarga bangsawan walaupun menyadari hal itu.

Selain itu, Ayah kartini adalah bupati Jepara. Dunia pribumi yang dikenal Kartini adalah kerakusan feodalisme yang merajalela tempat perempuan untuk berpikir dan berpartisipasi dalam masyarakat disandera. Feodalisme Jawa waktu itu, tentu merupakan kondisi ketika para keluarga bangsawan menjadi penguasa yang berada di antara mayoritas rakyat yang bekerja mengeluarkan darah, keringat, dan air mata, namun hasilnya sebagian besar harus diserahkan pada penguasa.

Berbeda dengan perempuan-perempuan modern sekarang ini yang begitu membanggakan diri akan zaman modern ketika struktur dan kultur pasar bebas (kapitalisme) memenjarakan mereka dalam gaya hidup satu dimensi. Sebuah pepatah jawa “kacang ora ninggal lanjarane” atau biji kacang tidak akan meninggalkan asalnya ia, yakni dari tumbuhan kacang. Tafsirnya, sebagai perempuan Indonesia perlu sekali review keperempuanan dan asal perjuangan serta keperanan perempuan di zaman sejarah feodalis.

Pertanyaannya, apakah perempuan Indonesia bangga (prestisius) sebagai perempuan? Sedangkan feodalisme kembali muncul di era modern. Perempuan komersialisasi seks, pelacuran, perempuan kelas bawah, perempuan kelas atas dan isu lainnya masih tetap bertopeng pada perempuan. Dalam buku ini, Soyomukti memperkenalkan pemikiran Bung Karno. Sosok Bung Karno yang terkenal orang yang sangat perhatian pada urusan pemerintahan tetapi masih sempat memikirkan dan prihatin pada perempuan sebagai wujud keperpihakannya kepada kaum perempuan yang maju dan bangga (prestisius) sebagai perempuan Indonesia.

Cermat dari Bung Karno terhadap revolusi Industri di Barat dan imbasnya bagi kaum perempuan. Kapitalisme –saat ini masih menyebar–, telah membedakan kaum perempuan kelas atas dengan kaum perempuan kelas bawah (buruh, tani dan rakyat jelata) merasakan penindasan ekonomi pada saat perempuan kelas atas bergelimangan harta, bukan berarti kaum kelas atas tidak mengalami dekadensi moral.

Menurut Soyomukti, pandangan Bung Karno masih sangat relevan jika kita menguak nasib para perempuan kelas atas di zaman kapitalis sekarang ini. Perempuan mapan dan kaya semacam Paris Hilton memang bukanlah para perempuan mandiri meskipun banyak orang yang beranggapan demikian. Mengutip dari perkataan sosial bahwa, manusia hidup membutuhkan orang lain.

Keperpihakan lain dari Bung Karno terdapat pada daya upaya dalam mengenang perempuan yang telah berjasa merawatnya sejak kecil dengan meletakkan nama perempuan itu menjadi judul buku kecil Sarinah. Marhaen sebutan lain dari Sarinah, yang mengalami penindasan ganda, yakni sebagai perempuan kelas bawah. Akan tetapi, dalam Sarinah diuraikan bahwa bukan berarti perempuan kelas atas terbebas dari penindasan. Bahkan, dalam tingkat tertentu, mereka justru terkurung dan terpasung, apalagi saat mendampingi suami yang tidak demokratis dan memperlakukan istrinya sebagai pelayan dan budak.

Membaca Sarinah –sebagaimana diakui oleh Colin Brown, pengamat politik Asia asal Australia– kita akan menyimpulkan bahwa tidak ada pemimpin politik Indonesia yang lain menaruh perhatian tentang perempuan yang seserius Soekarno. Sebagaimana, kutipan dari direktur Global Education Center (GEC), berkaitan dengan situasi kaum perempuan sekarang ini.

Melalui anotasi Soyomukti, interfensi tentang cabulan perempuan lebih terkikis dari ketidakmanusiaan kita. Dengan gerakan rintisan Kartini dan perhatian dari pemimpin negara, yaitu Soekarno lebih memberikan rangsangan terhadap gaira prestisius seorang pribadi perempuan untuk berada di depan. Ujar kata, buku ini memberikan rekomendasi dan kontribusi dalam mengangkat citra keperempuanan Indonesia.[]


0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.