Religion in the Life of Human Culture

AGAMA DALAM KEHIDUPAN BUDAYA MANUSIA
Oleh Bayu Tara Wijaya
1. Pengertian Agama
Mudjahid Abdul Manaf (1996: 2) mendefinnisikan Agama berasal dari bahasa Sansakerta yaitu A yang berarti “ tidak” dan Gam sama dengan Gaan, Go, Gehen yang berarti “pergi”. Sehingga memiliki arti “tidak pergi” yang maksudnya “tetap di tempat”, “langgeng” diwariskan secara turun-temurun.

Sedangkan Endang Saifuddin Anshari (1979: 14) Agama berasal dari bahasa Sansakerta yaitu A artinya “tidak” dan Gama yang berarti “kocar-kacir atau berantakan”. Sehingga diartikan “tidak kocar-kacir atau tidak berantakan”. Lebih jelasnya agama itu adalah teratur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama itu adalah peraturan yang mengatur keadaan manusia, mengenai sesuatu yang gaib, ataupun yang menjadi budi pekerti, pergaulan hidup bersama.

Selain dari itu agama masih banyak menandung pengertian dari bahasa asing yang lainnya, diantaranya:
a. Religion (bahasa Inggris) yang menurut Saint Augustinus, berasal dari kata “Re dan Eligare” yang berarti “memilih kembali” dari jalan sesat kejalan tuhan (Abu Ahmadi dan Noor Salimi 1991: 3).
b. Religie (bahasa Belanda) yang menurut Lactantius, berasal dari kata “Re dan Ligare” yang berarti “menghubungkan kembali sesuatu yang telah putus”. Yang menghubungkan antara tuhan dan manusia yang telah putus karena dosa-dosanya. Sedangkan menurut Cicero berarti membaca berulang-ulang bacaan-bacaan suci (Abu Ahmadi dan Noor Salimi 1991: 3).
c. Din (bahasa Arab) yang berasal dari kata kerja “daana” – “yadienu” yang mempunyai arti bermacam-macam yaitu: cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitingan, hari kiamat, dan nasehat (Endang Saifuddin Anshari 1979: 12).

Dalam agama, tentu ada istilah beragama. Maka, secara sederhana dalam pandangan umum, beragama adalah kepercayaan dan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan kekuatan atau wujud gaib (relationship between humans and supernatural forces or beings). Dengan demikian, ada hal-hal alamiah atau natural dan ada pula yang supranatural. Agama adalah yang berhubungan dengan yang supranatural, yang luar biasa, atau yang gaib. Namun, batas antara apa yang gaib dan nyata, yang supranatural dan yang natural sangat kabur dan relatif. Dulu manusia sampai di bulan dikatakan tidak alamiah, tidak natural, tetapi ternyata itu adalah alamiah dan kenyataan (Bustanuddin Agus, 2006: 45).

Pendapat lain tentang pengertian agama bahwa, agama adalah jalan (way of life) yang merupakan sumber sistem nilai yang harus dijadikan pedoman manusia. Dengan kata lain, Islam merupakan arah petunjuk hidup dengan cara yang benar, yang sesuai dengan fitrah dan kodrat kemanusiaanya sebagai makhluk Allah swt (A. Munir dan Sudarsono, 1992: 47).

Cukup banyak agama yang ada di dunia ini, sekedar menyebut contoh agama Sinto, Kong Hu Cu, Bahai, Budha, Katolik, Protestan, Hindu, Islam dan lain-lainnya. Jadi, secara umum, sebagaimana penjelasan di atas, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni(Muhammad Daud Ali, 1998: 72):
1. Agama Wahyu (revealed religion), juga disebut pula agama samawi, agama langit.
2. Agama Ra’yu (cultural religion/natural religion) agama bumi, kadang disebut agama budaya da agama alam.
Jadi, agama wahyu adalah yang ajarannya diwahyukan oleh Allah (Tuhan) kepada ummat manusia melalui Rasul-Nya. Sedangkan agama ra;yu adalah agama yang ajaran-ajarannya diciptakan oleh manusia sendiri, tidak diwahyukan oleh Allah melalui rasul-Nya


2. Klasifikasi Agama
Klassifikasi agama dapat dibagi menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu:
1. Agama Wahyu
Abu Ahmadi dan Noor Salimi (1991: 6) mendefinisikan bahwa Agama wahyu adalah adalah ajaran Allah yang disampaikan kepada para rasul-Nya, yaitu islam. Agama Samawi atau Sama’i adalah agama Wahyu, yang mana Wahyu itu tidak diturunkan langsung kepada masyarakat, tetapi kepada Rasul-Nya melalui Malaikat. Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari (1979: 18) Agama Wahyu adalah Agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasul-Nya dan kepada Kitab-kitabnya serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.
Adapun ciri-ciri Agama Wahyu, adalah:
a. Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat.
b. Disampaikan oleh utusan Allah. Utusan itu tidak menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
c. Memiliki kitab suci yang bersih tanpa campur tangan manusia.
d. Ajarannya serba tetap.
e. Konsep ketuhanannya adalah : Monothoisme mutlak (Tauhid).
f. Kebenarannya Universal, berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan. (Abu Ahmadi dan Noor Salimi 1991: 6)

2. Agama Budaya
Abu Ahmadi dan Noor Salimi (1991: 6) mendefinisikan bahwa Agama Budaya adalah ajaran yang dihasilkan oleh pikiran atau persamaamn manusia secara komulatif. Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari (1979: 18) Agama Budaya didefinisikan sebagai Agama bukan-Wahyu yang diartikan sebagai agama yang tidak memandang esensiil penyerahan manusia kepada tata aturan ilahi.
Adapun ciri-ciri Agama Budaya atau Agama Bukan Wahyu , adalah:
a. Tumbuh secara kumulatif dalam masyarakat penganutnya.
b. Tidak disampaikan oleh Rasul.
c. Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalau ada akan mengalami perubahan oleh manusia.
d. Ajarannya berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikiran masyarakat.
e. Konsep ketuhanannya: dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monothoisme nisbi.
f. Kebenaraan ajarannya tidak Universal. (Abu Ahmadi dan Noor Salimi 1991: 6)

Dari penejelasan di atas, dapat dikatakan bahwa agama wahyu hanyalah Islam. Sedangkan selebebihnya, kecuali Agama Nasrani dan Yahudi, termasuk agama budaya. Adapun Agama Yahudi dan Agama Nasrani dalam bentuk sekarang tidak dapat sepenuhnya dianggap Agama murni wahyu, namun kita sebut dengan Agama semi-wahyu. Karena kedua kitab yang dianggap suci oleh para pemeluknya itu (Taurat dan Injil dalam bentuknya yang sekarang), pada kenyataannya telah sangat banyak disisipi oleh “tangan-tangan” manusia (Endahing Saifuddin Anshari, 1979: 21).

3. Perkembangan Agama dan Kehidupan Budaya Manusia
Tradisi keagamaan lokal di Indonesia, pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara agama dan budaya lokal. Tradisi antara satu daerah dengan daerah lain pasti berbeda. Dengan kata lain terjadinya pluralisme budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah yang luas dan latar belakang kultur yang beraneka ragam.

Agama maupun budaya tidak akan pernah bisa mengelak dari proses perubahan. Memang betul ajaran agama sebagaimana tercantum dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaan semula. Namun begitu agama difahami, diterjemahkan kedalam perbuatan nyata dalam suatu seting sosial, budaya, politik ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayaan (Hisan Kato, 2002: 101).

Karya seni masyarakat sekuler tampak materialis dan biologis. Sehingga menjadi tumpukan perhatian. Seperti dalam percintaan muda mudi adalah tertuju pada kecantikan wajah dan penampilan, tidak budi luhur dan kedalam perasaan. Tarian juga didominasi goyang dan penampilan erotis. Semua penampilan materialis biologis dari seni modern tidak lepas dari kaitannya dengan agama. Seni masyarakat sekuler dihasilkan oleh agama, merekalah yang dinamakan materialisme itu. Materialisme dianut dan dipercayai sebagai suatu kebenaran satu-satunya. Materi dan fisik adalah sesuatu yang amat dipentingkan dan mendominasi kehidupan masyarakat modern sehingga lahirlah seni yang fulgar. (Agus. 2003a:33-90).

Edward Norbeck mengasumsikan dasar dari bukunya Religion in Human Life bahwa agama adalah bagian dari kehidupan manusia yang dikatagorikan sebagai supernaturalisme atau agama yang semua itu adalah buatan dari manusia dan banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara universal (Norbeck 1974:9-10).

Apabila dihubungkan dengan perkembangan manusia ada 3 tahap perkembangan jiwa atau masyarakat/budaya manusia, yaitu :
1. Tahap Teologik, secara harfiah berarti teori tentang Tuhan. Dalam prakteknya, istilah ini berhubungan dengan pemikiran individual. Misal ketika manusia berpikir sebuah Fetisisme, yakni berpikiran bahwa disekelilingnya adalah sama memiliki kekuatan magis. Kedua, ketika berpikir Politeisme, yakni berpikiran bahwa Tuhan itu banyak. Ketiga, Monoteisme, yakni berpikiran bahwa hanya da satu Tuhan (Kamus Ilmiah Populer).
2. Tahap Metafisik, secara harfiah berarti membicarakan problem realitas atau benda abstrak. Artinya akal fikiran manusia sudah mulai terbuka berbagai rahasia alam sekitarnya, memahami berbagai hubungan sebab akibat, dan akhirnya sampai pemikiran yang hakikat dari sesuatu yang ada ( Muhaimin.1994).

4. Kedudukan dan Fungsi Agama dalam Sistem Budaya dan Peradaban
Keberadaan agama dalam sistem sosial budaya adalah objek yang menjadi perhatian utama dalam antropologi agama. Kehidupan beragana punya pengaruh terhadap aspek kebudayaan yang lain. Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan aspek budaya material, perilaku manusia, nilai moral dan lain sebagainya (Bustanuddin Agus, 2006: 201).

Banyak pendapat, bahwa Agama merupakan bagian dari kebudayaan dan ada juga penjelasan bahwa kebudayaan bagian dari agama. Namun tutur Bung Hatta dalam Endang Sifuddin Anshari (1982) menjelaskan bahwa “agama adalah juga satu kebudayaan, karena dengan beragama manusia hidup dengan senang”. Dalam penjelasan ini, bung Hatta mencoba mencampur adukkan antara agama deng beragama. Dan tengasnya, baik agama maupun kebudayaan, keduanya dapat membuat manusia senang dan bahagia, tanpa harus kesimpulan, agama adalah (sebagian daripada) kebudayaan atau sebaliknya kebudayaan adalah (sebagian daripada) agama (Endang Sifuddin Anshari, 1982: 47).

Pendapat lain agama dalam sistem budaya bahwa agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Kebudayaan mengatur hubungan manusia dengan manusia serta alam (Endang Sifuddin Anshari, 1982: 49). Jadi, agama dan kebudayaan adalah bagian terpisah yang tidak ada kaitannya.

Secara umum, para ahli antropology menempatkan agama (religi) sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan (cultural universals), karena ia merupakan hasil dari pemahaman, rasa dan tindakan masyarakat yang bersangkutan dalam berhubungan dengan yang gaib (Bustanuddin Agus, 2006: 202).

Dari beberpa penjelas mengenai setuju dan tidaknya agama dalam sistem budaya. Tentunya kita mengetahui sedikit fungsi dari agama terhadap perkembangan suatu budaya.

Mengacu pada pengertian budaya yang dijelaskan di atas, bahwa agam ada dua jenis, yakni agama sebagai wahyu dan agama sebagai budaya. Mungkin, jenis kedua inilah yang nantinya akan memperjelas fungsi agama sebagai sistem budaya. Hal demikian terjadi, karena agama budaya merupa agama yang dihasilakan dari usaha manusia untuk mencari Tuhannya, melalui cara-cara, sehingga disepakati secara turun menurun.




Bibliografi

Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali Press.
Ali, Mohammad Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Ashari, Endang Saifuddin. 1982. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Kato Hisan. 2002. Agama dan Peradaban. Jakarta: Dian Rakyat.
Manaf, Mudjahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-agama, cet. ke-2. Jakarta: Rajawali Press.
Munir, A dan Sudarsono. 1992. Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Pranowo, M. Bambang. 1998. Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Yustiono (ed). 1993. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.




0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.