Arkoun, Perspectives in Interpreting al-Quran

Arkoun, Perspektif dalam Menafsirkan al-Quran

Judul Buku : Antropologi Al-Quran
Penulis : Baedhowi, M.Ag
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan I : April 2009
Tebal : xx + 256 halaman
Peresensi : Bayu Tara Wijaya *

Al-Quran adalah kitab umat manusia (khususnya Islam), kitab tersebut memiliki sakralitas mitologi dalam setiap pesan-pesan yang terceritakan dalam al-Quran. Bahasa-bahasa simbolis yang banyak terdapat dalam al-Quran memberikan petunjuk kepada umat manusia. Namun, penafsiran-penafsiran al-Quran selama ini terkesan mengabaikan kedalaman makna kandungan dan justru mengikuti arus ideologi yang berkembang.

Malam Nuzulul Qur’an adalah salah satu peringantan umat muslim dalam rangka memperingati turunnya al-Quran. Kegiatan sakralitas keagamaan dikemas dalam serangkaian peringatan malam Nuzulul Qur’an. Dalam ceritanya, kisah turunnya al-Quran pun juga sudah dipaparkan dalam al-Quran itu sendiri sebagaimana dalam surat al-Baqoroh ayat 185.

Dari contoh kegiatan Nuzulul Qur’an tersebut, terbukti bahwa al-Quran memiliki keunikan, yakni adanya al-Quran, ada dalam al-Quran itu sendiri. Sayangnya, banyak umat manusia yang tidak menalar kembali kisah tersebut. Sehingga, beberapa kegiatan peringatan turunya al-Quran hanya diisi oleh khutbah yang menjelaskan cerita turunya saja, hal demikian terjadi sejak zaman dahulu hingga sekarang khutbah normatif tidak pernah berkembang.

Antropologi Al-Qur’an banyak mengupas pemikiran Mohammed Arkoun, yakni ilmuan Islam yang beberapa dekade ini banyak diperbincangkan di dunia Islam pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Arkoun salah satu pemikir yang mengkhutbahkan metode baru dalam studi al-Quran secara kontekstual-multidisipliner berdasarkan ilmu pengetahuan modern.

Pertama, metode Penjelajahan Sinkronis yang dimaksudkan untuk mengetahui keterkaitan logis dan psikologis yang menghubungkan term-term yang ada dan membentuk sistem dan nilai berdasarkan kesadaran kolektif. Metode ini sebenarnya digunakan untuk mengukur dampak yang ditimbulkan al-Quran terhadap umat manusia yang bersifat rasional, logis, imaginer, imani, dan ukhrowi (hal. 168-170).

Kedua, metode Penjelajahan Diakronis yang hanya memperlajari term-term yang dapat atau tidak dapat ditampakkan oleh kesadaran kolektif. Lewat penjelajahan ini, Arkoun ingin melampaui kajian yang dilakukan oleh kalangan muslim tradisional maupun kaum orientalis dengan beberapa tawaran metodenya bermaksud untuk menerobos berbagai hambatan ideologis, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan teologi (hal. 172-174).

Ketiga, perspektif antropologis adalah turunan dari metode kedua, yakni penjelajahan diakronis. Namun yang sedikit berbeda adalah cara mengkaji al-Quran dari sifat antropologisnya. Jadi, metode ini mencoba untuk menemukan hubungan al-Quran dan masyarakat dalam mengungkap nalar wahyu yang bertradisi semitis.

Dalam usulan antropoligis ini, Arkoun ingin mengali faktor-faktor umum sosial-kemanusiaan, budaya, dan agama mayarakat Timu Tengah dan Mediteranian Kuno, yang telah melahirkan tiga wahyu monoteisme dan agama besar –Yahudi, Nasrani, dan Islam. Hal ini dalam rangka mempertemukan kendala dan kekuragan dalam studi al-Quran dari aspek strategis, metodologis, maupun filosofis. Sehingga, kita sebut ini adalah metode perspektif filsafat dari fakta religius.

Memahami al-Quran, memang tidak semudah orang mengucapkan membalikkan telapak tangan. Teks al-Quran yang isinya memuat sejumlah makna, yang tidak sekadar nya kita memahami arti teks secara sempit. Seperti yang diusahakan sejak dulu hingga sekarang ini, yakni pembacaan al-Quran hingga mengungkap makna yang terpendam dalam teks tersebut.

Arkoun sebagaimana yang diuraikan oleh Baedhowi dalam buku Antropologi Al-Qur’an, yakni Arkoun menawarkan metode linguistik atau lebih tepatnya semiotika. Sehingga, ketika seseorang ingin menerjemahkan al-Quran bisa dipastikan tidak terjadinya kesalahpahaman. Meskipun orang yang memahami al-Quran berasal dari berbagai bidang keilmuan.

Betul apa yang dikatakanArkoun, memahami al-Quran sangat sah bila multidisiplener kailmuan yang dimiliki seseorang tersebut. Terbukti, sejak dahulu banyak beberapa kitab klasik atau kitab kuning (sebutan para santri) yang menafsirkan al-Quran dari berbagai perspektif bidang keilmuan, seperti kitab Tafsir Jalalain, kitab Tafsir al-Misbah, kitab Tafsir Munir, dan banyak lainnya.

Dari beragam kitab tafsir tersebut, cukup menjadi bukti bahwa Arkoun yang meminjam istilah Roland Barthen “mennghidupkan solidaritas sejarah, dengan cara berpikir secara bebas”, yang mana hal itu, menurutnya, merupakan tradisi yang terbaik dalam berijtihad.

Salah satu yang dimunculkan oleh penulis buku ini, yakni memahami al-Quran dalam perspektif antropologis (antropologi agama, sosial, dan budaya), yang mana dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai zamannya.

Secara umum, al-Quran dan wacana keagamaan memang penuh bahasa-bahasa simbol. Al-Quran sendiri yang mengkisahkan Nuzulul Qur’ah, sehingga sangat perlu apabila mengkaji al-Quran dari berbagai perspektif dalam rangka mengungkap makna atau tafsir yang belum tergali.

Walhasil, karya ilamiah yang terangkum dalam buku kecil dan memiliki bobot yang sebanding dengan buku-buku terkenal lainnya. Sangatlah patut bagi kita semua sebagai penerus umat muslim untuk memberikan apresiasi terhadap karya ini dalam wujud membacanya serta mengkaji ulang dalam rangka penambahan referensi terkait metode tafsir al-Quran.

Patutlah kita berbangga diri bagi kita yang memiliki kitab pedoman hidup, yakni al-Quran. Bukti dari kepemilikan kita bukan hanya kemampuan kita untuk mengadakan al-Quran di meja baca, melainkan kepemilikan pemahaman isi teks dan kontekstual berdasarkan multidisipliner tafsiran kita. Inilah sebagian dari ijtihad terbaik.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.