Jurisprudence formulation for Women

Formulasi Fikih untuk Perempuan

Judul Buku : Sosiologi Fikih Perempuan
Penulis : Zaenul Mahmudi, M.A
Penerbit : UIN Malang Press
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : x + 175 halaman
Peresensi : Bayu Tara Wijaya*

Berkata perempuan, layaknya sudah sangat akrab kita mendengar bahwa adanya perempuan salah satu sebab, karena adanya lelaki. Keberadaanya setara barang komplemen, mereka akan berharga apabila dikonsumsi oleh konsumen dalam hal ini lelaki. Dalam dominasi sistem seperti ini, kodrat perempuan akan tertindas dan tersempitkan ruang-geraknya dalam hal mendapatkan keadilan hidup, spesial Indonesia tanah airku.

Kemudian kisah gender dan feminisme di Indonesia yang diperankan perempuan dengan bernama R.A Kartini memperjuangkan kesetaran gender khususnya pihak perempuan dalam memperoleh keadilan untuk bisa belajar di bangku sekolah (berpendidikan). Dilanjutkan pula oleh keperpihakan bung Karno terhadap perempuan (ibunya bung Karno, yang diceritakan dalam buku kecil Sarinah).

Segaris dengan catatan di atas, perempuan patut diberi keadilan yang relevan dengan ajaran agama umat manusia dalam hal ini dari perspektif Islam. Di Indonesia sendiri, kepasrahan para perempuan sebagaimana menurut pesan-pesan para kiai kampung dalam ceramah-ceramahnya adalah “ibadah”. Namun pesan-pesan ini didefiniskan masyarakat awwam bahwa perempuan tidak diperbolehkan bertingkah laku sebagaimana tingkah lelaki.

Sosiologi Fikih Perempuan adalah hasil kajian dari penelitian yang membahas horizon pemahaman fikih perempuan yang disesuaikan dengan kondisi dalam pandangan Imam Syafi’i. Harapannya, gender, pesan-pesan kiai kampung tentang perempuan, ketersudutan perempuan dalam ruang-gerak memperoleh keadilan hidup mengalami pemahaman kontektual yang lebih mempertimbangkan rasio-sosiologisnya.

Di dalam kitab-kitab fikih Syafi’i yang ditulis pada zaman klasik dan pertengahan tersebut ada produk hukum yang menunjukkan bahwa gerak langkah perempuan mendapat lebih banyak pembatasan daripada lelaki. Misalnya dalam hal ubudiyah, perempuan harus menutupi seluruh bagian tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan lelaki cukup menutupi antara pusar dan lutut. Contoh lain dalam berjamaah di Masjid lelaki lebih dianjurkan daripada perempuan, sehingga kesempatan perempuan untuk memperoleh pahala yang lebih besar selalu hanya diperuntukkan lelaki. Masih banyak contoh dan lagi-lagi perempuan selalu kalah dengan lelaki, tanpa terkecuali bidang apapun.

Beberapa pemahaman tentang fikih perempuan seperti dicontohkan, merupakan hasil pemahaman para ulama klasik yang merujuk pada kitab-kitab Imam Syafi’i. Namun, sayangnya kitab-kitab yang banyak dipercayai ulama-ulama klasik bahwa kitab tersebut adalah pedoman hukum fikih yang benar-benar autentik dan tidak perlu dilakukan penafsiran-penafsiran baru. Padahal ilmu fikih sejatinya adalah ilmu sosial-budaya yang ijtihadnya selalu bergantung dengan kondisi dan masanya.

Kita perlu mengakui bahwa fikih hasil ijtihad Imam Syafi’i adalah fikih yang terbaik di masanya, tetapi tidak berarti hasil ijtihadnya akan senantiasa baik untuk masa sekarang khususnya di Indonesia. Itulah mengapa Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat qaul qadim dan qaul jadid, dan alasan mengapa antara Imam Syafi’i dan para pengikutnya masih ada perbedaan pendapat adalah karena permasalahan yang berkembang di sekitanya berbeda dan juga karena perbedaan masa dan faktor sosial budaya antara keduanya.

Kiprah Perempuan
Pada masa ini tidak banyak informasi yang jelas dari buku-buku yang ditulis oleh para sejarawan mengenai sikap dan kiprah para perempuan serta posisinya dalam masyarakat. Seperti masa Abbasiyah tidak ada perempuan yang berkiprah dalam urusan sentral masyarakat, hanya perempuan-perempuan elite yang memiliki nilai tawar lebih di mata lelaki. Itupun tidak banyak yang menceritakan kiprah perempuan yang ditulis sejarahwan tentang kiprah keppemimpinan perempuan sukses.

Berbeda dengan masa sekarang, kiprah perempuan sudah mulai perkembangan walaupun dalam buku-buku sejarah masih jarang diceritakan tentang kiprah perempuan di masyarakat. Perempuan sudah mulai banyak yang duduk menjadi seorang pimpinan organisasi bahwa negara. Sampai akhirnya sempat diperdebatkan oleh para ulama Indonesia tentang kepemimpinan seorang perempuan. Beberapa dalil-dalil fikih pun dibuka kemballi akhirnya muncul pendapat baru perempuan diperbolehkan menjadi seorang pemimpin atau berkarir.

Inilah pertarungan pemahaman fikih, lagi-lagi fikih berkembang dan berubah berdasarkan kondisi dan masanya. Kiprah perempuan memang sekarang ini sudah membanyak diseluruh penjuru kota bahkan dunia, namun perlu diingat bahwa perempuan tetaplah perempuan, kodrat sebagai perempuan tidak bisa ditinggalkan, karenanya boleh perempuan menjadi pemimpin, menjadi pegawai, dan lain sebagainya asalakan perempuan tidak berlebihan dalam berkiprah. Sekadar memperoleh keadilan semestinya sudahlah cukup, dikhawatirkan perempuan yang berkiprah berlebihan, akan terjadi ibu yang bekerja di kantor, bapak yang mengurusi rumah dan anak. Sehingga pekerjaan (kewajiban) lelaki dilakukan perempuan, sedangkan pekerjaan (kewajiban) perempuan dilakukan lelaki.

Sebagai kata akhir, seyogyanya pemikiran-pemikiran fikih klasik hendaknya kita dudukan secara proporsional dengan memberikan penilaian terhadapnya sesuai dengan masanya, bukan dengan menggunakan parameter sekarang karena pengarang fikih klasik adalah “anak” di zaman mereka sendiri. Dengan catatan formulasi dan ijtihad fikih yang baru harus tidak menyimpang dari nash-nash al-Quran dan al-Hadis.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.