Arts of Learning Math

Seni Belajar Matematika
Oleh Bayu Tara Wijaya
A. Prolog
Berbica matematika memang membuat kening berkerut. Apalagi melihat banyaknya simbol-simbol dan model perhitungan matematika. Percaya atau tidak, mempelajari matematika tidak semuda membaca buku-buku sosial. Terlebih, ketika literatur yang digunakan berbahasa asing. Tentunya akan lebih sulit lagi bagi kita untuk mudah akrab belajar matematika.

Banyak orang yang memandang matematika sebagai ilmu yang kering, abstrak, teoritis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus-rumus yang rumit dan membingungkan. Mereka mungkin mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah; akibatnya, mereka tidak menyukai matematika. Bagi mereka matematika merupakan ilmu yang tidak banyak berhubungannya dengan dunia nyata dan manusia, serta tidak banyak gunanya kecuali untuk menghitung hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari (Frans, 2003: 224).

Maka dari itu, ada sebuah pepatah umum yang mengatakan: “Tidak kenal maka tidak sayang.” Mungkin pernyataan ini sangat cocok diberikan pada mereka yang memandang matematika secara miris. Sebab, mereka tidak begitu kenal dengan matematika hingga menganggap matematika tidak ada gunannya.

Untuk itulah sangat diperlukan seni belajar matematika secara mandiri. Sebab, proses belajar matematika adalah rekreasi yang sesungguhnya. Artinya belajar adalah proses penyegaran diri kita menjadi diri yang baru lagi, segar lagi. Rekreasi sendiri memiliki paradigma kenyamanan pada apa-apa yang nyaman buat indera dan seleranya (Evawati dan Eko, 2007: 129). Sehingga untuk belajar matematikan pun dibutuhkan kenyamanan, kesegaran seraya bermain di dunia rekreasi.

Oleh karena itu, guna optimalisasi keprofesional lulusan matematikawan perlu diungkap beberapa teori terkait seni belajar matematika yang dapat digunakan pelajar atau mahasiswa. Apalagi, akhir-akhir ini ada banyak kesalahan pembelajaran matematika yang membuat para pelajar atau mahasiswa matematika ketakutan.

B. Apa Itu Matematika?
1. Defenisi Matematika

Secara mutlak, pengertian matematika tidak bisa dipatoki dan tidak bisa ditetapkan ‘inilah pengertian dari matematika’, tanpa adanya pembahasan ulang mengenai pengertian itu. Sampai saat ini, belum ada satu pun orang atau kelompok yang bisa menetapkan pengetian matematika dengan paten. Memang matematika bersifat universal, dia akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda jika pengaplikasiannya berbeda pula.

Beberapa paparan, ketika matematika berada pada kelompok pedagang, matematika adalah ilmu hitung uang. Ketika matematika berada pada tukang kayu, matematika adalah ilmu ukuran. Dan masih banyak lainnya yang menafsirkan pengertiaan dari matematika (Abdussakir, 2007: Seminar Integrasi Matematika dan Islam).

Secara bahasa, kata “Matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “mathema” atau mungkin juga “mathematikos” yang artinya hal-hal yang dipelajari. Bagi orang Yunani, metamatika tidak hanya meliputi pengetahuan mengenai angka dan ruang, tetapi juga mengenai musik dan ilmu falak (Abdussakir, 2007: 5). Sedangkan menurut Nasoetion (1980: 12) menyatakan bahwa matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathein” atau “Manthenein” yang artinya “mempelajari”. Orang Belanda, menyebut matematika dengan wiskunde, yang artinya ilmu pasti. Sedangkan orang Arab, menyebut matematika dengan ‘ilmu al hisab’, artinya ilmu berhitung.

Selain itu, menurut Bertrand (1872-1970) matematikawan pemenang nobel internasional, menyatakan bahwa “Matematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan dimana tak seorang pun mengetahui apa yang dikatakan begitu pula jika apa pun yang dikatakan itu adalah benar”. Sehingga di sini matematika merupakan dasar dari segala disiplin ilmu. Yang secara epistemologi, materi matematika itu sungguh tersusun rapi, ada urutan-urutannya mulai yang rendah sampai ke yang tinggi atau mulai yang tinggi baru ke yang rendah. Tepatnya, matematika itu bersifat hirarkis. Implikasi dari sifat hirarkis ini adalah pemahaman pada suatu konsep akan mempengaruhi pemahaman pada konsep berikutnya yang berkaitan (Abdussakir, 2007: 13).

2. Hakekat Matematika
Banyak mitos yang keliru tentang matematika yang beredar dalam masyarakat sampai saat ini sering kali mengamburkan hakikat matematika yang sebenarnya. Beberapa ciri matematika (Frans, 2003: 227):

- Matematika bukanlah ilmu yang memiliki kebenaran mutlak. Kebenaran dalam matematika adalah kebenaran nisbi.
- Matematika bukanlah ilmu yang tidak bisa salah.
- Matematika bukanlah kumpulan angka, simbol, dan rumus yang tak ada kaitannya dengan dunia nyata. Justru sebaliknya matematika itu tumbuh dari dan berakar dalam dunia nyata.
- Matematika bukanlah kumpulan teknik pengerjaan yang hanya perlu dihafal hingga siap pakai dalam soal-soal matematika.

Objek matematika adalah unsur-unsur yang bersifat sosial-kultural-historis.
Matematika merupakan pemikiran. Untuk mengkomunikasikannya, matematika telah mengembangkan suatu sistem labang yang rumit. Dalam matematika, seperti juga dalam kegiatan komunikasi lainnya, kita menartikan sebuah amban sebagai sesuatu pengertian yang tertangkap oleh panca indera kita, di mana lambang tersebut dipergunakan untuk menyampaikan arti dari kesadaran satu kepada kesadaran yang lain (Abdussakir, 2006: 87).

Oleh karena itu, semestinya dalam belajar matematika tidak ada tuntutan untuk menghafalkan rumus-rumus dan teorema-teorema, karena hal ini akan membuat jenuh. Biarkan matematika mengalir dalam diri seorang, dengan rasa tanpa beban hal ini akan lebih mudah dalam mempelajarinya. Maman Djauhari, guru besar ITB Jurusan Matematika pada Seminar tentang Integrasi Matematika dengan Islam, 2008, yang diselenggarakan oleh para Dosen Jurusan Matematika UIN Malang. Dalam pidatonya beliau menyampaikan, bahwa dalam belajar matematika tidak diperlukan hafalan, tapi yang diperlukan adalah ketekunan untuk mempelajari, artinya dengan seringnnya bergaul dengan simbol-simbol, rumus-rumus, dengan sendirinya kita akan mampu untuk ingat tanpa menghafalkan. Juga dikatan, seorang yang belajar matematika adalah orang pilihan, kenapa dikatan orang pilihan. Sebab kita masih sabar dan menekuni dalam bergaul dengan matematika. Matematikawan tidak butuh kepandaian, tapi ketekunan.

C. Seni belajar matematika a. Defenisi Belajar
Sampai sejauh ini kita sudah sering menggunakan istilah “belajar”, namun kita belum memberikan pembatasan apa belajar itu. Memang sebenarnya sangat sulit memberikan arti “belajar”. Karena “belajar” itu menyangkut psikologi kognitif yang dalam dan luas tidak sepatutnya dibicarakan oleh matematika. Walaupun demikian, kita berusaha sekadar memberikan pembatasan sederhana sehingga mempermudah menguraikan “belajar”. Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku (Herman, 2005: 71).

Proses belajar tidak semudah memberi makan ayam. Maka perlu diketahui hal yang berhubungan dengan belajar adalah tahap proses belajar, suasana belajar, jenis belajar, cara belajar, ciri-ciri belajar, dan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar (Supriyanto, 2007: 39).

Ada enam tahapan belajar yang dijelasakan oleh Rooijakkers (1980) dalam buku karangan Supriyatno (2007) adalah sebagai berikut:

Tidak Tahu

||
||
V
Proses Belajar:
1. Motivasi
2. Perhatian pada pelajaran/materi
3. Menerima dan mengingat
4. Reproduksi
5. Generalisasi
6. Melaksanakan tugas belajar dan umpan balik
||
||
V
Tahu

Gambar 1 Proses Belajar


b. Seni dalam Belajar Matematika
Matematika adalah ilmu yang menarik dan memiliki nilai seni tinggi menurut Amanto, M.Si., dosen Matematika UNILA. Ia juga mengatakan selama ini guru matematika lebih banyak mengajarkan matematika dengan cara didaktif. Padahal, pembelajaran matematika secara induktif dan problem solving atau penyelesaian masalah akan jauh lebih menarik dan membekas di kepala (baca: Lampung Post, 20/9/08). Tak kalah menariknya, pemecahan masalah matematika juga didefinisikan oleh Polya (1975) sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Karena itu pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang tinggi (Herman, 2005: 74).

1. Seni Diskusi
Metode ini merupakan bentuk belajar di mana terjadi interaksi antara pemberi pengetahuan dan penerima pengetahuan. Diskusi dapat dilakukan pula dalam membentuk kelompok-kelompok kecil dan kelompok-kelompok ini melakukan pembahasan terkait materi-materi yang belum dapat dipahami serta kemudian informan utama atau pengajar sebagai pelurus bila terjadi pelencengan diskusi (Herman, 2005: 85).

Beberapa manfaat diskusi (Suprijanto, 2007: 97):

- Diskusi memberi kesempatan kepada setiap peserta untuk menyampaikan pendapatnya , dan mendorong setiap individu untuk mengambil sebuah keputusan.
- Diskusi mendorong partisipasi peserta. Mereka yang aktif secara fisik dan mental dalam diskusi belajar lebih banyak daripada mereka yang hanya duduk dan mendengarkan.
- Diskusi cenderung membuat peserta lebih toleren dan berwawsan luas.
- Diskusi dapat membantu kesalahpahaman dan mendorong untuk mendengarkan argumen.

2. Seni Belajar Sendiri
Kita akan tahu beberapa keanehan dalam belajar matematika. Terkadang kita melihat teman disamping bangku kita yang pada waktu belajar atau kuliah sering tidur dan tidak serius, tetapi ketika ujian ia bisa mengerjakan dengan baik. Dan ketika ditanya ia lebih mengerti belajar sendiri daripada diterangkan pengajar. Seni-seni belajar seperti inilah yang perlu kita kaji, apa yang membuat keanehan itu terjadi?
Di sisi lain, sudut agama Islam dalam Ta’limu Muta’alim dijelaskan, menuntut ilmu ada enam syarat, yakni cerdas, rajin, petunjuk guru, biaya, waktunya panjang. Dari keenam syarat tersebut tidak lain ada pentunjuk guru, jadi ketika belajar tidak ada penuntun dari seorang guru akan mengakibatkan proses belajar tersebut tidak sempurna yang akhirnya banyak menimbulkan kesesatan berpikir.

3. Seni Demonstrasi
Demonstrasi adalah cara menunjukkan bagaimana mengerjakan sesuatu. Isinya bermaksud memperlihatkan apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya, erta menjelaskan langkah pengerjaanya (Suprijanto, 2007: 144). Semisal ketika kita dalam belajar matematika yaitu dengan seni demo seperti dalam mempresentasikan sebuah hasil kerja kita. Jadi bukan hanya individu yang memahami tetapi semuanya juga paham.
Selain itu, seni demo ini juga terkadang tertransformasi ke dalam media audio-visual yang di dalamnya berupaya memberikan kesan yang menarik sekaligus dengan dukungan audio-visual. Jadi seni demontrasi merupakan kegiatan yang bersifat ekspresi dan gerak, baik ekspresi perbuatan ataupun ekspresi ucapan (Asnawir dan Usman, 2002: 108).

4. Seni Laboratorium
Seni belajar ini, berkaitan dengan seni belajar sendiri. Sebenarnya matematika itu tiak sekedar membaca, tetapi belajar bekerja. Bagi kita belajar matematika semestinya sambil “ngelitis” atau sambil mempraktekkan dan mencoba untuk menemukan konsep-konsep sambil mengobservasi dan mencoba berjalan dari dunia kongkret ke abstrak (Herman, 2005: 89). “Ngelitis” biasanya dapat dilakukan pada waktu kita mencoba bermain-main dengan benda-benda dilikungan sekitar kita. Secara umum, kita misalkan pada sebuah konsep geometri, konsep ini yang sering kita jumpai atau bahkan pada tataran logika matematika yang membawa “ngelitis” pada dunia berfilsafat matematika.

Sebuah buku “biografi angka nol” menjelaskan bahwa tidak semua ahli matematika pandai dalam menyelesaikan soal matematika, pandai hitung atau lainnya. Tetapi ahli matematika juga terkadang pandai dalam satra dan seni matematika, atau filsafat matematikanya.

Tetapi, dalam kehidupan kita masih banyak para matematikawan yang hanya paham di tataran teoritis tidak pada hakekat. Jadi pada seni laboratorium ini mencoba para pelajar matematika mengkonstruksi pola-pola matematika (Herman, 2005: 89).

Seni laboratorium memang berkaitan erat dengan dunia riset, jadi matematika akan sedikit kita pahami melalui praktek matematika dan katakan saja praktek adalah membuktikan tentang konstruksi-konstruksi terkait matematika (Soeharso, 2003: 201). Tetapi sekarang lebih muda lagi, sebab dalam seni laboratorium sekarang berkembang ke arus global, sehingga seni laboratorium biasanya bernampak pada model belajar di laboratorium semisal uji rumus-rumus dengan software-software. Hal ini wajar, sebab prinsip realitas; matematika tumbuh dari dunia realitas oleh karena itu belajar matematika jangan lepas dari dunia realitas, baik pemahamannya maupun aplikasinya supaya lebih dihayati secara bermakna (Mumun, 2009).

D. Daftar Pustaka
Abdussakir. 2007. Makalah Seminar Tentang Integrasi Matematika dan Islam pada acara “Buka Bersama di bulan Ramadhan” yang diselenggarakan oleh HMJ tahun 2007
________. 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN Press.
Alisah, Evawati dan Dharmawan, Eko Prasetyo. 2007. Filsafat Dunia Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Asnawir dan Usman, Basyiruddin. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers.
Aziz, Abdul dan Abdussakir. 2006. Analisis Matematika terhadap Filsafat al-Qur’an. Malang: UIN Press.
Dharma, Surya. 2006. Penelitian Gender. Malang: UMM Pers.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.
Lampung Post. “Matematika Bernilai Seni Tinggi”. www.lampungpost.com/cetak/berita Edisi, 20 Semptember 2008.
Mardalis. 2003. Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: CV. Mandar Maju.
Sumaji, dkk. Cet ke-6. 2003. Pendidikan Sanis Yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisus.
Suprijanto. 2007. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Bumi Aksara.
Syaban, Mumun. Educare: Jurnal Pendidikan dan Budaya. “Matematika dalam Era Globalisasi”. http://educare.e-fkipunla.net. Generated: 21 Januari 2009.

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.