Zeros Become Victims of non-Math

Angka Nol Menjadi Korban Non-Matematikawan
oleh Bayu Tara Wijaya
Telaah Angka
Singkat dari sebuah cerita munculnya angka yang dimulai dengan munculnya angka satu. Angka satu ini muncul dari bangsa Barat, yang konon ceritanya dalam perhitungan jumlah hanya ada dua pilihan, yakni jumlah sesuatu dengan jumlah satu atau jumlah sesuatu dengan jumlah banyak. Jadi, dahulu ketika sesuatu itu lebih dari satu, maka dikatakan berjumlah banyak.

Seiring perkembangan, muncullah angka dua. Dalam praktiknya, penjumlahan dengan angka dua ini sedikit memelik kejelasan. Misalkan, ketika seseorang memiliki barang yang berjumlah lima, maka cara menyebutkannya yakni dengan faktor kelipan dua, sehingan untuk jumlah lima cara mengucapkannya dua, dua, dan satu.

Terus berkembang di dunia Barat, dari angka satu hingga angka 9. Historisnya, ada satu angka yang muncul dari dunia Timur, yakni angka nol. Kebetulan angka ini di-release oleh tokoh Islam, yakni al-Khawarizmi. Berkat beliau, bangsa Barat yang awalnya benar-benar jaim dengan orang timur, akhirnya secara terpaksa angka nol pun diterima oleh mereka. Sebab, angka ini memiliki keunikan. Salah satunya, berkat angka nol dapat mempermudah perhitungan dalam jumlah banyak.

Angka pada Realita
Terusalah berkembang, angka-angka berkembang sesuai strukstur social budaya negara masing-masing. Sehingga muncullah banyak gaya penulisan angka-angka, seperti angka romawi, angka arab, dan lain sebagainya.

Pada abad kini, penulisan angka yang sering kali kita gunakan adalah angka arab (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0). Angka ini sangat akrab dengan masyarakat. Tetapi perlu kita cermati, pertama, dari susunan angka arab tersebut, semisal dalam keyboard sebuah komputer, kalkulator, atau dalam mesin-mesin apapun. Angka nol berada diurutan terakhir. Padahal kenyataanya, dalam urutan yang sebenarnya angka nol ada di depan. Tugas kita untuk mencermati kenapa hal itu terjadi?

Kedua, dalam pengucapan angka nol, kebanyakan masyarakat Indonesia (khususnya), sehingga mengucapkan dengan sebutan ‘nol’ dengan ‘kosong’. Padahal perlu digarisbawahi, ‘kosong’ tidak mempunyai nilai. Berbeda dengan nol, ia masih ada nilai. Macopat dari penulis, jangan-jangan masyarakat kita terkonstruk dengan teori Tong Sam Cong dalam film Kera Sakti, “Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong.” Sehingga kita mengartikan kosong itu ada nilainya.

Sedikit perlu saya sampaikan pada para pembaca tulisan ini, untuk memulai meluruskan kesalahan publik ini, biar kita tidak ditertawakan oleh orang luar. Walaupun kita bukanlah sarjana Matematika yang tidak menengal teori bilangan, tetapi minimal kita tidak salah kaprah yang terus-menerus.

Mungkin inilah budaya, sehingga nasib angka nol menjadi korban oleh orang-orang non-matematika, dan bahkan juga masih ada orang matematika yang juga salah. Cerita ini sama halnya dengan teori bahasa Indonesia. Banyak contoh kata yang tidak baku, tetapi masih dianggap benar, dan lebih parahnya ditingkat pendidikan pula, juga masih salah kaprah dalam mengunakan kebakuan bahasa dalam tulisan maupun perkataan.

Sebagai para pemerhati, atau orang pengangguran sekalipun. Usaha melakukan hal baik dengan cara yang baik, untuk kepentingan baik, perlu diperjuangkan dan wajib dilakukan. Terima Kasih…!

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.