Imitation in Social-Islam Learning

Imitasi dalam Pembelajaran Sosial-Islam

Judul Buku : Islam dan Pembelajaran Sosial
Penulis : Muhammad Amin Nur, M.A
Penerbit : UIN Malang Press
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : viii + 112 halaman
Peresensi : Bayu Tara Wijaya

Pembelajaran adalah suatu proses yang setiap manusia pasti akan melawatinya. Melalui proses ini manusia dapat menjadi dewasa secara umum, dan khususnya dewasa pada bidang keilmuwan tertentu. Proses ini mau tidak mau harus diupayakan bagi manusia yang normal. Jadi, manusia yang ingin sampai pada suatu tujuan tanpa proses pembelajaran tidaklah mungkin. Kisah manusia yang dalam Islam, manusia pertama adalah nabi Adam, semenjak diciptakanlah nabi Adam, Allah swt juga menerapkan konsep pembelajaran pada Nabi Adam.

Karenanya, manusia haruslah menjadi manusia yang pembelajar, melalui beberapa pembelajaran-pembelajaran ilmu pengetahuan melalui realitas alam sekitar. Minimal ketika perkembangan intelektual semakin berkembang, dan kita sendiri yang secara percaya dirinya mengakukan sebagai manusia tentu harus menyeimbangi perkembangan tersebut dengan ilmu pengetahuan, tidak lain dengan beberapa proses pembelajaran.

Sebagai manusia normal minimal harus memiliki usaha untuk memahami minat, bakat dan potensi yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada kita. Sehingga dari proses pemahaman ini kita dapat mengaktualisasikan minat, bakat dan potensi diri untuk kemaslahatan diri, masyarakat, dan alam ini.

Rujukan Islam dan Pembelajaran Sosial yanga ditulis oleh Muhammad Amin Nur menawarkan konseptual sebagai salah satu usaha untuk menyumbangkan tesis berupa pembelajaran sosial melalui contoh-contoh dan kisah-kisah natural-historis ala sosial-Islam sebagai referensi kematangan manusia pada umumnya.

Amin Nur meningatkan, bahwa kata kunci dari proses pembelajaran adalah proses perubahan. Karena melaui proses pembelajaranlah manusia dapat berkembang lebih baik dan sempurna yang kalau kita mengaku biar tidak seperti makhluk lainya.

Tanpa adanya proses pembelajaran yang memadahi, mustahil diri manusia dalam kehidupannya dapat berkembang ke arah lebih baik. Perkembangan kecakapan bicara, misalnya, setiap bayi yang normal memiliki potensi untuk cakap berbicara seperti ayah bundanya, namun kecakapan anak tersebut tidak akan pernah terwujud dengan baik tanpa upaya belajar walaupun proses kematangan organ-organ mulutnya telah selesai.

Hal ini pernah dilakukan percobaan oleh Kingsley Davis dalam Soekanto (2005), bahwa ia menyekap seorang bayi bernama Anna di sebuah loteng rumah petani di Pennsylvania. Alhasil, anak tersebut menunjukkan sifat-sifat berlainan sama sekali dengan anak lain yang seusianya; Anna tidak dapat berjalan, mendengar, bahkan tidak dapat makan seperti manusia pada umumnya.

Contoh lain juga pernah diungkapkan oleh Muhibbin Syah dalam Amin Nur, bahwa seorang anak normal pasti memiliki bakat untuk bias berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun, karena anak tidak hidup dalam sebuah lingkungan masyarakat social, misalnya diasingkan/dibuang ke tengah hutan belantara bersama hewan, maka bakat berdiri yang ia miliki secara turun-temurun dari dari orangtuanya itu akan sulit diwujudkan. Sehingga, ketika ia belajar dengan lingkungan sosial hutan tentu ia belajar berjalan di atas kedua kakinya, dan tangannya serta merangkak seperti serigala misal.
Imitasi (niru)
Dalam pembelajaran manusia sejak lahir hingga tumbuh dan berkembang menjadi dewasa pasti melalui proses imitasi (meniru) perilaku orang-orang di sekitarnya. Sejak saat itulah ia dipengaruhi lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun sosial (masyarakat). Proses imitasi ini juga sepadanan dengan al-Quran dalam surat al-Hasyar ayat 7, yang artinya: “Dan apa yang diberikan rasul pada kalian maka ambil/ikutilah dan apa yang dilarang Rasul pada kalian maka jahuilah.”

Sama halnya ketika Rasulullah saw mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya maka Rasulullah mengutamakan pendekatan imitasi terlebih dahulu sebelum melakukan pendekatan-pendekatan lainnya. Oleh karena itu, sebelum pengangkatan sebagai Nabi, Rasulullah sudah menjadi contoh atau teladan masyarakatnya sehingga ia telah dikenal sebagai al-amin, yaitu orang yang jujur. Kalau dalam istilah Jawa, imitasi adalah niru, yang urutan kedua dari proses pembelajaran Jawa, yakni niteni, niru, lan nambahi.

Dengan begitu berarti kepribadian seseorang merupakan gabungan antara hereditas atau potensi bawaan (intrinsik) dengan pengaruh lingkungannya (ekstrinsik). Jika seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang baik, maka atas pengaruh lingkungan tersebut anak akan cenderung berkepribadian baik. Sebaliknya, jika seorang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk, maka kemungkinan besar ia akan berkepribadian buruk.

Sebutan lain, tesis kecil tipis ini berhamburan referensi penting bagi kita untuk menjadikan diri kita sebagai manusia sempurna, dan rujukan tips dalam mengekstinsikkan masa depan anak bangsa untuk menjadi pribadi yang baik.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.