Save the Mental and Character of Our Students

Selamatkan Mental dan Karakter Anak Didik
Oleh Bayu Tara Wijaya

Ada sebuah perbincangan di media massa pada beberapa minggu lalu yang membincangkan topik “Pembelajaran dari Konkret ke Abstrak” yang diusung dari pakar pendidikan Jean Piaget dan Montessori. Seperti yang dicontohkan pada kasus pembelajaran Matematika pada anak usia dini, yakni menggunakan alat peraga untuk mengenalkan berhitung. Layaknya perlu dikaji kembali, mengingat pentingnya penanaman konsep pada anak didik seusia dini.

Merujuk tentang anak usia dini pada pasal 28 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 ayat 1, yang termasuk anak usia dini adalah anak yang masuk dalam rentang usia 0–6 tahun. Pada umur ini, anak memasuki tahap pra pendidikan dasar. Usia dini ini adalah rentang penentu anak didik, ketika penanaman konsep diri anak didik sejak awal (input) sudah tidak bagus, selanjutnya dipastikan menghasilkan hasil (output) kemungkinan tidak bagus pula, dan begitu sebaliknya.

Fase usia dini, anak didik dapat ibaratkan sebuah kertas putih yang akan digambarkan dan dirumuskan mental dan karakter kedewasaan anak didik ke depan. Sejak lahir, orangtua menjadi peran pertama atas tangungan dan hak untuk membentuk mental dan karakter anak didiknya. Seperti, sifat traumatis yang berkelanjutan adalah sifat normal anak usia dini. Tatkala anak didik mengalami traumatis, misalnya salah satu yang terceritakan dibeberapa isu-isu tentang gagalnya siswa-siswi dalam ulangan Matematika atau kekerasan fisik yang mengakibatkan kerusakan mental dan karakter.

Bukan salah anak didik untuk tidak gagal dalam belajar, namun pembelajarannyalah yang perlu kita runtun kembali, apakah sudah sesuai dengan penanaman konsep anak usia dini? Sebuah referensi, anak usia dini adalah suatu organisme yang merupakan suatu kesatuan jasmani dan rohani yang utuh dengan segala struktur dan perangkat biologis dan psikologisnya sehingga menjadi sosok yang unik. Sebagai makhluk sosio-kultural, ia perlu tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan sosial tempat ia hidup dan perlu diasuh dan dididik sesuai dengan nilai-nilai sosio-kultural yang sesuai dengan harapan masyarakatnya (orangtua nomor satunya).

Dalam pembelajaran anak didik seusia dini, pemberian motivasi menjadi bagian terpenting dalam pengembangan mental anak didik. Pasalnya, ketika seorang pendidik (orangtua) memberikan sebuah penghargaan sebagai apresiasi dari kreativitas anak didiknya, hal ini akan membuat anak didik lebih bersemangat dan percaya diri dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Namun berbeda, ketika anak didik melakukan kesalahan dan pendidik seketika langsung melakukan tindakan bersifat tidak humanis (membentak, memarahi dan sebagainya) yang malah akan memberi efek pada kegagalan membangun mental dan karakter anak didik seusia dini.

Usia dini menjadi usia bermain bagi anak didik, jadi seluruh kegiatan pembelajaran harusnya bersifat menyenangkan dan harus dihindarkan dari sifat tidak humanis, apalagi sampai pada kekerasan fisik dan nonfisik. Sebab, anak dalam rentang usia dini cara berpikirnya sangatlah berbeda dengan orang dewasa. Kecenderungan anak usia dini selalu berpikir convergent dalam menghadapi suatu problem. Jauh sekali dengan orang dewasa yang nalar pikirnya divergent. Ketika anak menghadapi suatu masalah, misalnya anak usia dini sedi ditandakan menangis, anak usia dini ketika senang maka tertawa, dimarahi maka menangis, dan seterusnya.

Kekerasan di Usia Dini
Dalam masa-masa dini seperti ini, pendidik atau orangtua harus menghindari beberapa kekerasan terhadap anak. Kekerasan di sini, bukan hanya kekerasan fisik, tetapi nonfisik yang paling berbahaya daripada kekerasan fisik. Kekerasan fisik akan membekas luka kecil dan dibawa ke doctor masih bias disembuhkan asalkan tidak keterlaluan. Namun, apabila kekerasan nonfisik, seperti menjatuhkan mental anak didik, mentraumatiskan anak didik dengan sesuatu hal, dan contoh lainnya akan memberikan bekas yang sangat susah disembuhkan. Sebab, kekerasan nonfisik menyerang karakter dan mental anak didik bukan fisik yang mudah terobati.

Andaikata mau mencermati pola pikir anak usia dini yang convergent, pendidik atau orangtua perlu hati-hati dalam penanaman konsep pada anak didik seusia dini. Praktik yang menjalar di penghujung tahun 2009 berdasarkan data yang dihimpun oleh Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Jatim, terdapat 224 kasus kekerasan terhadap anak, dan untuk Kota Surabaya terdapat 163 kasus yang terhitung kota terbanyak terjadinya kekerasan anak.

Kegagalan membangun konsep pada anak usia dini adalah sama halnya kegagalan pembangunan nasional bangsa, khususnya di dunia pendidikan yang menjadi media penanaman konsep pada anak didik seusia dini. Dari sumber yang sama, KPPD Jatim memberikan data kekerasan anak di lingkungan pendidikan, yakni pendidikan formal 24 kasus dan pendidikan informal 2 kasus pada tahun 2009.

Singkatnya, pendidikan khususnya pendidikan anak usia dini, masih belum bisa dikatakan berhasil. Meskipun dalam informasi Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini tercatat sekitar 1528 Satuan PAUD Sejenis (SPS) di Jatim. Dari segi ketenagaan pendidik, sebagaimana KPPD Jatim kekerasan lebih banyak terjadi lingkungan formal ketimbang di lingkungan informal. Sebagai pendidik atau calon pendidik, tidak lain orangtua menjadi bagian dari pendidikan informal anak didik perlu melakukan transformasi sikap dalam mendidik anak khususnya mereka yang di usia dini.

Kesalahan penanaman konsep anak usia dini menjadi poin terpenting dalam pengawasan pendidik untuk menuju kematangan anak didik ke tahap berikutnya. Setelah tahap ini, juga sangat penting bagi para pendidik untuk tidak melalaikan tahap setelah anak keluar dari fase usia dini. Tugas pendidik bukan sekadar pada usia dini saja, melainkan hingga akhir hayat anak didik. Salah konsep bisa berakibat fatal di masa datang mengingat masa depan anak didik adalah masa depan orangtua, nusa, dan bangsa.

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.