Why do We Learn Mathematics?

Kenapa Kita Belajar Matematika?
Oleh Bayu Tara Wijaya

Awal orang suka dengan yang namanya matematika, biasa dimulai sejak masa sekolah baik dari tingkat SD, SMP, maupun SMA. Bisa juga, orang akan benci dengan matematika dari tingakat SD, SMP, SMA, hingga di bangku kuliah. Bahkan orang yang kuliah di jurusan matematika sendiri pun masih ada yang belum ramah dengan matematika.

Salah satu penyebab orang yang suka matematika bisa dilandasi oleh faktor guru. Wajah matematika di jenjang sekolah maupun di jenjang perkuliahan sangat bergantung dengan pengajar, matematika berwajah buruk ataupun bagus/baik. Dari pengalaman penulis, telah merasakan kesukaanya matematika berawal dari kelas 3 SMP dan berlenjut hingga sekarang. Itupun tidak lain disebabkan karena pengajar/guru matematika. Ketika mengajar, seorang guru mengerti sekali posisi anak didiknya, mana yang membutuhkan motivasi, pendampingan, arahan, dan perhatian atas pribadi setiap anak didiknya. Kenyataannya, jarang pengajar dapat seperti itu, dan yang sering adalah sebaliknya guru tidak menghiraukan anak didiknya bahkan sering kali menjatuhkan mental didikkannya.

Oleh karena itu, perbaikkan atas tingkah laku seorang pengajar perlu dilakukan. Bahkan kalau perlu, seorang pengajar matematika diberi materi tentang kependidikan lebih dibandingkan dengan materi-materi lainnya. Sebab, anak kecil hingga ABG cara berpikir mereka masih dinamis-tak beraturan, sedangkan materi matematika menuntut mereka untuk berpikir statis-formal. Sehingga, sebenarnya matematika di sini memberika peran untuk menata cara berpikir manusia, tidak lain cara berlogika.


Kita semua menyadari dan sempat binggung, bahkan kenapa matematika harus dipelajari di sekolah maupun di perkulihan. Kelihatanya juga, manfaat dari matematika sendiri tidak begitu nampak di kehidupan kita, hingga kadang-kadang hati kecil kita bilang matematika tidak penting.


Pelajaran yang kita dapat dari matematika sebenarnya sangat abstrak sesuai identiknya. Terlebih peran matematika yang paling utama adalah membentuk, menata cara berpikir dari labil manjadi stabil. Hal ini dapat terjadi, sebab ketika seseorang mengerjakan soal matematika, maka yang terlintas pada seseorang adalah memikirkan cara menyelesaikan soal. “Bagaimana ya menyelesaikan ini, darimana ya sebabnya kok bisa begini dan begitu,” kata-kata yang sering muncul pada seseorang yang mengerjakan soal/masalah matematika.
Dari keseringan seseorang mengerjakan soal tersebut, seseorang lambat laun ia akan tidak sadar dilatih dan semakin terlatih menentukan solusi dan mencari sebab “kenapa solusinya seperti demikian”. Hingga seseorang akan tidak sadar pula ketika menghadapi masalah lain (non soal matematika) ia akan dengan terbiasa berlogika dengan konsep menyelesaikan soal matematika. Namun, sifat keabstrakkan matematika hingga seseorang tidak menyadari bahwa dirinya terlatih karena sering menyelesaikan soal, khususnya soal matematika.


Kenapa soal matematika? Sebab soal matematika atau soal yang berbau matematika lebih memiliki tingkat kesulitan tinggi dibandingkan dengan soal-soal lainnya. Dan, semakin tinggi tingkat kesulitannya, semakin tinggi pula manfaat pada berlogika seseorang. Karena tingginya manfaatnya tadi, banyak orang yang lebih memilih “tidak” alias tidak mau belajar apalagi menyelesaikan soal matematika.


Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang semakin sedikit menyelesaikan soal (masalah apapun), berarti semakin sedikit pula logikanya rendah (cara berpikirnya buruk), tidak lain orang yang cara berpikirnya buruk berarti orang tersebut kurang “kedewasaannya”. Apalagi ketika menyelesaikan soal dengan tingkat yang tinggi, ia akan lebih memilih menjauh dari soal/masalah, bukan?


Malang, 26 April 2011

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.