Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri
Deskripsi Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri
Di dalam artikel Komarudin Hidayat yang berjudul Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri, dapat diuraikan bahwa seorang yang mencoba dirinya untuk mencapai kesadaran murni (pure consiouness) yang mana kesadaran murni tersebut tidak dapat digambarkan, karena tingkat kesadarannya ini melampau kesadaran biasa. Dan untuk menempuh itu perlu melalui proses penyaksian, dimana penyaksian atau pengetahuan diri. Jadi bila seseorang mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu dengan benar, maka dia akan mengenal tuhannya.
Dalam buku syeikh fadlallah Haeri, dijelaskan bahwa sesorang murid sufi yang dilalui adalah penyaksian yang murni dan sederhana. Dan tingkat tersebut dinamakan dengan muroqobah. Kesadaran memberikan sesuatu yang lebih tinggi dalam dirinya yang membuat menyaksiakan apa yang sedang terjadi dalam dirinya.
Bisa saja diletraturkan pada sebuah pembesihan atau penjerniahan air keruh. Di mana air keruh akan melewati alur penyaringan sampai penjernian, yang mana jika dihubungkan dengan pengenalan diri dengan cara memahami diri sendiri juga diperlukan proses. Yang pertama, pengosongan diri di mana pengosongan ini, tidak dikenalkan lagi pikiran-pikiran yang menganggu pada jiwa manusia untuk mengetahui dirinya. Kedua penjernihan, di mana seorang sufi akan mengalami kemapuan berketerbukaan dengan bagian pusat batin seseorang.
Sehingga dari proses penjerniahna tersebut akan dihasilakn kesadaran yang mana berawal dari pengetahuan diri. Dalam perjalanan ini seorang guru (mursyid) sangat berperan sekali dengan membimbing seorang murid sufi, karena mursyid di sini yang akan memerikan alur atau jalur yang akan ditempuh sekaligus komandan dari murid sufi tersebut.
Dari peranan mursyid ini, hasil akhir penjernihan air akan diperoleh penyucian air yang dengan itu difokuskan dalam dunia nyata proses menuju ‘pure’ terdapat tiga langkah proses –pengosongan, penjernohan, dan penyucian– yang terjadi secara koherensi simultatif (saling keterkaitan).
Dalam artikel tersebut Komarudin juga menerangkan bahwa kaum materialistisme akan merasa lebih sulit mengalami atau melalui kemurnian yang benar-benar murni. Karena mereka selalu digeluti dengan asumsi yang bersifat kapitalisme, yang mengedepankan bahagia di mata dari pada di hati, yang artinya jiwa mereka seakan-akan tidak bisa mereka kenali, kemana dan apa serta bagaimana tujuan hidup mereka. Hanya berjalan melalui populeritas matetialistislah yang mereka geluti.
Dalam inti tasawuf, ajarannya pada hakekatnya nilai keluhuran yang terletak bukan berwujud empirik, sehingga capaian yang dimisikan akan terwujud melalui proses pengenalan diri sendiri. Dan dari itu akan dicapai pendeknya nurani cahaya kesucian senantiasa menetap Tuhan dalam kontak dan kedekatan antara kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima.
Semuanya berawal dari naluri manusia yang membawa dirinya kepada-Nya tidak ada rekayasa pendidikan tetapi nalurilah yang membawa. Dalam maqomat seorang tasawuf, dirinya akan bernaluri untuk bertingkah yang kongruensi dengan akhlak makhmudah.
Sejarah Kemunculan Sufi
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka. Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam).
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi. Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat diketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
Tanggapan Tentang Adanya Tasawuf
Aliran Tasawwuf / Sufi begitu suburnya tumbuh di Indonesia belakangan ini. Banyak orang yang tidak mengenal aliran ini dari sumbernya menjadikannya obat penawar di dalam menghadapi permasalahan hidup yang ada. Sehingga pada era sekarang ini banyak para ulama kita telah menjelaskan kepada kita tentang siapa aliran Tasawwuf / sufi ini, tentunya di dalam timbangan Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam penjelasan Abu Abdirrahman Uli, tentang hakikat tasawuf telah memberikan rambu-rambu bagi kita yang ingin menelusuri jalan tasawuf. Penjelasan yang menyatakan bahwa kita wajib kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih untuk dapat mengetahui hakikat tasawwuf ini, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika engkau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya.”(An-Nisaa’ :59)
Jadi, segala penyimpangan yang akan kita bicarakan tentang tasawwuf ini berdasarkan pertimbangan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dengan pemahaman salafus shalih. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Aku tinggalkan kepada kalian suatu perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya maka tidak akan menyesatkan kalian selamanya, (yaitu) Kitabulah dan Sunnahku.
(Hadits Shahih riwayat Imam Malik dalam Al-Muwatha (II/1899) dan Imam Hakim dalam Mustadrak I/93) secara bersambung dari Abu Hurairah r.a.)
Sebagai seorang muslim yang mempunyai tujuan hakekat sama yang khusunya dalam mencapai kemurnian yang begitu tinggi dibandingkan kemurnian biasanya, dan yang juga tidak bisa dileteraturkan dalam pandangan empirik biasa. Tentunya muslim yang seperti itu, hendaknya memilah dalam bermadzab sufinya untuk lebih berhati-hati. Seperti fenomena yang terjadi di Indonesia yang memiliki beragam macam madzab atau aliran sufi, terlebih di dunia luar.
0 Komentar:
Post a Comment