Spiritual or Intellectual?

Berspiritual atau Berintelektual?

Berbagai teori tentang manusia, dari teori yang berasal dari bangsa Barat—manusia yang diterjemahkan tokoh-tokoh Barat, seperti teori Darwin, dan lainnya—hingga teori yang berasal dari bangsa Timur atau yang terkenal teorinya bersumber dari ajaran Islam. Secara sekunder, teori-teori orang Barat kebanyakan dilandasi oleh nalar-rasional sedangkan teori-teori Timur dilandasi oleh nalar-spiritual (agama). Sehingga, dari dua perspektif dan sumber yang berbeda, tentu cara mendefinisikan manusia jelas berbeda, bahkan tidak bisa dibedakan.

Manusia purba (homo sapiens, dan sebagainya) yang mengalami evolusi sehingga berwujud seperti manusia menjadi sumber gagasan tokoh Barat dalam mendefinisikan asal-usul manusia yang dilandasi nalar-rasional (sumber ilmiah, data, dan uji data). Nabi Adam yang dalam ajaran Islam diceritakan berasal dari sari patih tanah pula menjadi gagasan tokoh Timur dalam mendefinisikan manusia yang dilandasai nalar spiritual (agama: al-Qur’an dan al-Hadis).

Pasalnya, perdebatan “manusia” dari sepanjang zaman masih belum menuai titik nadir, bahkan semakin berbeda peradaban dan zaman, berbeda pula cara menterjemahkan “manusia”, siapakah? Perkembangan telah membuat perubahan pula, arti menusia memiliki banyak makna dari aspek-aspek yang berbeda dan tergantung siapa serta darimana yang memaknainya.


Manusia sebagai animal rasional ketika dilihat dari kemampuan berpikir manusia. Sedangkan bila kita simak dalam QS. al-Mu’minum ayat 115 yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Hal ini mengindikasikan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana surat tersebut. Hal lagi dalam al-Quran surat al-Imron ayat 190-191 yang artinya:


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
 

Bahwa dalam surat di atas, manusia adalah orang-orang yang berakal (ulul albab). Sebab sejatinya, manusia sebagai pribadi dari satu kesatuan tiga unsur: perasaan, akal, dan jasmani. Ketiga unsur tersebut merupakan kemampuan dasar manusia yang dimiliki untuk survival. Namun, dari ketiga unsur tersebut akal menjadi pengendali atas perjalanan matang manusia. Kualitas manusia atau kematangan manusia tetap ditetukan oleh cara berpikir atau cara mengimplementasikan akal. Tidak lain, rendahnya berpikir atau berakal manusia dilatarbelakangi oleh lingkungan dan pengetahuannya (masyarakat, agama, dan pendidikan).

Masyarakat misal, manusia berstatus sebagai makhluk sosial hingga saat ini. Mereka harus bersosialis dengan masyarakat lain untuk mematangkan akalnya, tegasnya ukuran dari keberhasilan manusia adalah produktivitas peradaban pribadi dan masyarakat (sosial). Rendahnya produktivitas sosial sebab karena cara berpikir lama, yang bertitik tolak pada cara pandang tradisional yang mengandalkan spiritual semata. Dalam hal ini, agama dan pendidikan turut berperan dalam produktivitas. Masyarakat, agama, dan pendidikan menjadi kesatuan dalam membentuk manusia, siapa?
 

Terdapat dua hierarki kemasyarakat berbeda yang masih berkembang dipengaruhi lingkungan dan pengetahuan, yakni masyarakat tradisional dan modernitas. Masyarakat tradisional, merupakan penilaian manusia dari aspek spiritualitasnya. Sebab, spiritualitas bagi sebagian masyarakat tradisional, mengalami ketumpulan makna dalam menghadapi perkembangan kehidupan yang kompetitif dan prediktif. Karena cara pandang masyarakt tradisional terhadap kehidupan hanya mengandalkan pada sikap pasrah dan menerima perubahan hidup apa adanya. Sedangkan modernitas, sebagaimana dipahami oleh masyarakat modern, sebagai cara berpikir mengedepankan prakmatis, logis dan praktis. Di satu sisi mendorong terjadinya percepatan dalam peningkatan produktivitas kerja ditandai dengan perubahan sosial. Tapi sisi lain, peningkatan jumlah masyarakat terpelajar tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Karena masyarakat modern sifat indvdualistk dan fungsionalistik telah mengaburkn nilai kebersamaan dan kepedulian kelompok. Masing-masing bertanggung jawab atas diri dan lingkungannya sendiri.
 

Itulah dua aspek hirarkis yang berbeda, sehingga ketika kita akan menjadi manusia yang kolot untuk memilih salah satu, menjadi masyarakat tradisional saja atau medernitas saja. Maka, yang akan terjadi fanatisisme yang menyekat kita bersosialis. Padahal dengan bersosialis kita menjadi manusia yang bermanfaat, tahu kenapa menjadi manusia. Untuk itulah, dua hirarkis tersebut harus dimiliki setiap insan yang kamil.
 

Konteks lain, dari hasil sarasehan HUT XXV Kompas (1990) merumuskan, bahwa gambaran normatif-ideal Manusia Baru Indonesia memuat tiga ciri utama, yaitu manusia yang sadar IPTEK dan serba tahu (well informed); manusia kreatif yang mempu mengantisipasi perkembangan zaman; dan manusia yang bermoral serta peka terhadap keadilan dan solidaritas sosial. Pada dasarnya, rumusan tersebut sepadu dengan dua faktor, lingkungan dan pengetahuan, yang dijelaskan di atas.
 

Dari sinilah, manusia berakal dan berpikir (ulul albab), harus mencakup aspek-aspek lingkungan dan pengetahuan, atau berspiritual dan bermodern (intelektual). Berspiritual berarti harus memiliki dua landasan, yakni sosial-religius. Dengan landasan religius, akan menguak sisi batin seseorang untuk menatap Tuhannya. Sedangkan landasan sosial, membuat seseorang untuk menengok dirinya sendiri kemudian menatap dirinya di atas kanvas sosial. Dua pilihan, berspiritual atau berintelektual, namun ketika kita menjadi manusia ulul albab tentu akan memilih kedua-duanya. Tidak berintelektual saja atau berspiritual saja. Sebab, ketika manusia hanya menandalakan spiritualnya saja, maka yang terjadi adalah memunafikkan perkembangan, terlebih perkembangan yang berasal dari Barat, seperti pekembangan teknologi. Nan, ketika manusia hanya berintelektual saja, maka ketegangan dan individualistik akan membawanya menjadi stress.
 

Kembali ke surat al-Imron ayat 190-191 terdapat makna manusia ulul albab adalah yang berkarakter dzikir, pikir, dan amal saleh. Ketiga karakter tersebut engan, bahkan sulit dimiliki manusia. Namun, sebagai manusia yang berbudi mau tidak mau harus berusaha merebut untuk menuai gelar sarjana ulul albab. Tentunya, dengan bekal yang diberikan oleh Tuhan, yakni kecerdasan spiritual (SQ) adalah inti kesadaran kita. Kecerdasan spiritual ini membuat kita mampu menyadari siapa kita sesungguhnya dan bagaimana kita member makna terhadap hidup kita dan seluruh dunia kita. Selain SQ, ada kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi dalam kaitannya dengan hubungan social dan pemenuhan kebutuhan psikofisik. Serta, kecerdasan IQ adalah kemampuan untuk mengerjakan persoalan yang sesuai dengan usia mental (mental age) dan usia kronologis (chronological age).
 

Inilah atau inikah manusia bersarjana ulul albab, paling tidak jika mengutip pilar UIN Maliki Malang bahwa sarjana ulul albab adalah ia harus bias menjadi “ulama’ yang intelek profesional dan intelek yang ulama’ profesional”. Namun, selama ini problema dari istilah Ulul albab masih belum dapat disentuh secara keseluruhan. Dalam hal ini, manusia yang menjadi pemerannya (tokoh utama ulul albab). Sehingga, dalam rangka mencapai cita-cita sarjana yang berspirit atau berkarakter Ulul Albab, maka harus dibentuklah usaha-usaha untuk mencapai hal itu. Tak lain, inilah harapan dari jurnal ilmiah mahasiswa ini, Jurnal LoroNG (journal of social cultural studies) kali ini.

Sebagaimana dalam tema besarnya adalah “manusia dalam kulitas ulul alab”. Untuk itu, sebagai manuskrip dalam pembahasannya, Angga Teguh P, menyuguhkan topik “Tarbiyatul Ulul Albab sebagai Spektrum Peradaban dan Eksistensi Manusia”, dalam kajian penulis mengkaji konsep Tarbiyatul Ulul Albab dalam rangka menelisih gagasan besar yang selama ini masih diwacanakan di sivitas akademik kampus Islam. Akhirnya nanti, ide insan Ulul Albab yang berwajah kontemporer di zaman sekarang saat ini dapat muncul dari memahami ego kekhalifaannya, dari ego perlu belajar (need to study) menjadi ego harus belajar (have to study). Selanjutnya disusul gagasan dari Abdul Aziz Dhamanhuri tentang “Argumentasi Keluhuran Pencitaan Manusia; sebuah telaah Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis terhadap al-Qur’an”, ia berusaha mencari hakikat manusia sebagai pelaku sejarah tak pernah menemukan ujung klimaks. sehingga konsep manusia tersebut perlu dicermati dari al-Qur’an yang menceritakan manusia sebagai al-basyar dan al-insan. Kemudian dari kajian dasar tersebut penulis akan membacakan fungsi dan peran manusia terhadap ekosistem yang digalih dari aspek manusia sebagai Abdullah dan manusia sebagai Khalifatullah. Sehingga nantinya ontologis, epistemologi dan aksiologi manusia dapat dipahami dari perspektif al-Qur’an. Kemudian sebagai kelengkapan tema besar LoroNG, Babur Rahman menambahkan kajian terkait “Manusia Ulul Albab; dari Epistemologi Intelektualitas menuju Spiritualitas Etis”.
 

Selain manuskrip di atas, LoroNG menerima tamu dari Universitas Negeri Malang, Abdul Halim Fathani yang mendiskusikan “Matematikawan Integratif: Membumikan Matematika dalam Dimensi Spiritual, Teoretis, dan Aplikatif”, dalam diskusinya sejarah ilmu pengetahuan menempatkan matematika pada bagian puncak hierarki ilmu pengetahuan. Seperti pada masa kejayaan Islam, ditemui banyak tokoh muslim yang berjasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk matematika. Selain itu pula, ia juga mengdiskusikan matematika al-Qur’an. Dengan harapan, matematika secara utuh sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, akan dapat mengantarkan seseorang mencapai derajat matematikawan ulul albab, yakni seorang matematikawan integratif, yang selalu memadukan matematika dalam tiga dimensi: spiritual, teoretis, dan aplikatif. Munif Ibnu adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, aktif di LPM Justisia juga mendiskusikan tentang “Menakar Islam Tanpa Identitas” di dalamnya penulis berusaha mengunkap tergusurnya kesadaran akan subtansi beragama, nampaknya menjadi mainstream umat beragama dalam euforia dunia modern saat ini untuk kembali menyadari dan memahami arti sebenarnya beragama menjadi keniscayaan, jika tidak, tak ubahnya beragama tanpa nilai agama. 

Topik lain yang disajikan LoroNG juga berkat Ahmad Dini Hidayatullah yang menyuguhkan perdebatan tentang “Harapan Indonesia Masa Depan”, ia mencoba membaca peluang dan harapan Indonesia pada masa yang akan datang, adalah hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Ia berangkat dari narasi-narasi ilmiah dan sejarah dunia yang sempat menjadi perhatian publik. Semisal buku karangan Michael Backman “Asia Future Shock” yang menceritakan prediksi-prediksi masa yang akan datang dan beberapa futurolog para pakar dunia yang lain juga memprediksi-prediksi dunia. Dari narasi ilmiah dan sejarah dunia, pada kajian ini mencoba memberikan harapan terhadap Indonesia melalui sejarah perkembangan Indonesia dari aspek gerakan sosial dan politik, kondisi bangsa Indonesia pada saat ini. Selanjutnya, Husen Arifin, yang mencoba memberikan motivasi melalui karyanya “Spirit Kewirausahaan Mahasiswa PTAI: Menuju SDM Berbasis Syari’ah dalam Menghadapi Tantangan Global”, ia berusaha mendeskripsikan spirit kewirausahaan (entrepreneurship) mahasiswa PTAI berbasis syari'ah, Membudayakan spirit kewirausahaan (entrepreneurship) mahasiswa PTAI berbasis syari'ah. Juga, meningkatkan strategi sumber daya manusia (SDM) berbasis syari’ah dalam menghadapi era globalisasi. Selain itu, Muhklis Fahruddin juga mengagas pemikirannya tentang “Orientasi Humanis Pendidikan Islam dan Masa Depan Kemanusiaan”, dan Abdul Qodir Muslim tentanng “Rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam: sebuah Harapan dan Tawaran”. Dalam karya mereka mencoba memberikan tawaran atas masa depan pendidikan Islam.


LoroNG kali ini, menyajikan pula studi hasil penelitian tentang “Studi Morfologi dan Analisis Populasi Kodok Batu (Limnonectes macrodon) di Lingkungan UIN Maliki Malang”, yang merupakan karya Fitroh Sani. Dari hasil penelitiannya kodok batu di lingkungan UIN Maliki Malang mengalami cacat fisik dan populasi yang jauh di bawah kategori untuk dikatakan sebagai lingkungan yang alami. Solusi yang dapat diupayakan adalah penghijauan lingkungan UIN Maliki Malang sebagai langkah penyeimbangan ekosistem. Selanjutnya, tentang “Poligami dalam Pandangan Agamawan dan Budayawan; sebuah Analisis Deskriptif Pemikiran Aa Gym dan Cak Nun” karya hasil penelitian Liza Wahyuninto dan Siti Zulaikha, pada penelitiannya, mereka bermaksud melakukan library research pemikiran Abdullah Gymnastiar dan Emha Ainun Nadjib melalui karya mereka sebagai sumber primernya. “Aa Gym Apa Adanya: sebuah Qolbugrafi”, karya dari Abdullah Gymnastiar dan “Istriku Seribu: Polimonogami, Monopologami…”, karya dari Emha Ainun Nadjib. Selain topik yang diperbincangkan di atas, Indah Rahmawati menambahkan book review dengan judul “Menanamkan Karakter Ulul Albab dalam Jiwa Sivitas Akademik” dari buku Tarbiyah Ulul Albab: Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. Ia mencoba memberikan referensi karakter ulul albab, sehingga kita bias menamamkannya pada jiwa kita. 


Cukup lengkap jika membicarakan manusia Ulul Albab, berspiritual atau berintelektual menjadi pilihan yang harus dipilih keduanya untuk memperoleh gelar sarjana ulul albab. Kiranya, LoroNG kali dapat memberikan kontribusi dalam mencapainya. Demikian, maksud kami, semoga bermanfaat. Selamat membaca jurnal LoroNG LKP2M[]

Pemimpin Redaksi LoroNG
Bayu Tara Wijaya

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.