MEMASUKI DUNIA MODERN BERSAMA TASAWUF

Judul : Sekularitas Tasawuf; Membumikan Tasawuf

Dalam Dunia Modern

Penulis : H. Moh. Toriquddin, Lc., M.Hi.

Penerbit : UIN Malang Press

Cetakan : I, April 2008

Tebal : xii + 276 halaman

Peresensi : Bayu Tara Wijaya *

Abad yang berkembang telah tiba, teknologi yang modern semakin berkembang. Perkembangannya seiring detikan waktu. Siapa yang tidak bisa mengejar perkembangan berarti ketinggalan zaman. Inilah perkataan yang memancing kita terjerumus terjun ke dalam tawaran kemodernismean.

Modernisme merupakan tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa. Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal– yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri kta terselubungi dengan perkembangan teknologi.

Efeknya, penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf.

Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

Dalam teori kesuksesan yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ. Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab, akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut, tidak punya prinsip yang diandalkan.

Wujud dari kemampuan manusia, umunnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.

Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.

Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk menyeimbangi perkembangan zaman. Perlu kita ingat sejenak dalam surat al-Fajr ayat 27-30 yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan puas dan diridhoi Allah, masuklah ke dalam golonganku (yang beramal shaleh), dan masuklah ke dalam surgaku”. Ayat ini bisa kita renunggi, tatkala kita terbawa arus modernisme, hendaklah dan segerahlah kembali ke jalan Allah.

Sekularitas Tasawuf menjadi jawaban ini semua, harapan terbesar dengan keberadaan buku ini, menjadikan manusia berpaling sejenak untuk mangapai lagi sifat keilahiannya yang sering kali pudar dengan modernisme. Ajakan dan rayuan semata, telah membutakan sekilas perjuangan yang selama ini kita rintis. Seyogyanya kemampuan mengeksistensikan kembali tasawuf-lah yang bisa menyayat sedikit gemerlap hujatan hitam di dunia modern ini.

Mari kita buka, lembar per lembar simbol-simbol Islam telah dipakai untuk menutupi kekhilafan mereka. Tameng Islam yang suci menjadi korban simbolistik mereka. Memang bentul, Islam sangat demokrasi pada umatnya tapi sudahkah kita adil dalam meninteraksikan konsep kebangsaan dalam keagamaan. Sehingga terciptalah konsep baru yang lebih moderat terhadap lingkungan masyarakkat kita.

Penjelasan yang sama, berintikan pada keseimbangan tercakup dalam teori ESQ tersebut menjadikan interaksi dengan sesama manusia bisa terjalin damai. Sebagaimana tasawuf merupakan bagian dari agama Islam yang mana merupakan jalan menuju pendekatan kepada Allah swt.

Selama ini, tasawuf dipandang sebelah mata oleh sebagian umat Islam sendiri. Mereka beranggapan, seorang yang bertasawuf malah tidak kenal dengan dunia, tidak kenal toleransi, dan lainnya. Sebenarnya, jika diamati secara seksama justru dengan bertasawuf semakin banyak nilai, kesusilaan dan norma yang dilahirkan dari tubuh tasawuf.

Realitanya, yang dikatakan modernisme malah berpaling pada kemunduran. Hal ini disebabkan oleh krisis peradapan modern bersumber dari penolakan terhadap hakikat ruh dan peyingkiran ma’nawiyah secara grandual alam kehidupan manusia. Manusia modern mencoba hidup dengan roti semata, meraka bahkan berupaya “membunuh” Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat.

Dari sinilah, hanya kita yang tahu mana yang lebih panting dari beberapa kebutuhan kita, kedewasaan semakin bertambah manakalah kita semakin dewasa dengan keberadaan Allah swt.

DIMUAT DI MALANG POST, EDISI MINGGU 29 JUNI 2008

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.