Mengarifi NU dari Khittohnya

Mengarifi NU dari Khittohnya
Oleh Bayu Tara Wijaya*

Judul : NU dan Keindonesiaan
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : PT Gramedia Pusat Utama, Jakarta
Tebitan : I, 2010
Tebal : xviii + 258 halaman
ISBN : 978-979-22-5627-7

Nahdlatul Ulama (NU), organisasi tertua yang baru saja melakukan muktamar ke-32 di Makassar tanggal 22-27 Maret 2010. Lanjut, pembentukan pengurus oleh tim formatur terpilih yang akhir-akhir ini membawa banyak perdebatan polemik atas susunan kepengurusan Pengurus Besar Nahhdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015.

Ungkapan bijak dalam menyikapi polemik yang sempat dilontarkan oleh anggota formatur mewakili Indonesia timur yang juga Ketua Pengurus Wilayah NU Nusa Tenggara Timur Abdul Kadir Makarim di Jakarta. Beliau menegaskan untuk berupaya menjaga keutuhan NU itu harus dilakukan dengan menegakkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART NU yang telah mengatur secara jelas soal kepengurusan NU (KOMPAS.com, 22/4/2010).

Kendati demikian, isu-isu yang tercatat langsung ke raut NU bukan sebuah tinta hitam menetes ke dalam bak air yang karena tinta tersebut perlu adanya pergantian isi. Melainkan adalah polemik penyubur atas kebesaran NU dengan identitasnya sebagai organisasi tertua di Indonesia. Maka, sangatlah perlu untuk mengetahui jalan cerita gerak NU yang mencitra di Indonesia hingga saat ini. Mengapa demikian?

Patut dibanggakan dan diapresiasi, sebuah pernyataan tentang harapan besar terhadap peran ideal NU yang merupakan alur cerita NU di bidang kebudayaan, keagamaan, politik, dan juga ekonomi kerakyatan yang diolahdatakan dan terumuskan dalam sebuah rangkuman pendapat NU dan Keindonesian karya Mohamad Sobary, seorang kolumnis yang mengulas persoalan-persoalan kebudayaan dan pembelaan terhadap kaum tertindas dan lemah.
Dorongan Kritis
Beberapa aspirasi yang terkumpul dalam buku ini memberikan dorongan kritis kepada para pemimpin baru NU—terpilih melalui muktamar ke-32—untuk dapat dijadikan landasan perumusan kebijakan publik dalam satu periode kepemimpinan.

Meskipun rambu-rambu kuning bertanda, “tanaman belum berbuah tetapi sudah diserang benalu; kepemimpinan belum berjalan tetapi sudah diuji kesabaran—seperti isu-isu yang tercatat dibeberapa pekan lalu”. Berpikir kritis konstruktif dengan langkah-langkah arif sesuai AD/ART NU kiranya dipupuk dan dijadikan pijakan sebelum lama kepengurusan satu periode dari mandataris muktamar ke-32 berjalan.

Dorongan, NU sejatinya harus kembali ke khittoh-nya lagi. Ungkapan apik yang beberapa tahun lalu Cak Nur, asal Jombang secara tajam pemikirannya: “Islam yes, partai Islam no”. Mbok yo NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan yang kiprah utamanya mempererat ukhuwah islamiah umat, terutama di bidang pendidikan dan sosial-ekonomi.

Hal senada harapan seorang romo “Mudji Sutrisno”, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara berpendapat, semogalah NU yang rahmatan lil ‘alamin terus mewujud dan menemukan aktualisasi seturut perkembangan zaman. Maka pemimpin NU yang mendalam dan kuat dalam tradisi kitabnya, sekaligus pengayom, pemberi ruang-ruang hidup bagi para nahdliyin, serta perekat untuk Indonesia yang majemuk menjadi dambaan.

Seperti dahulu, keperpihakan NU sebagai salah satu jalan raya menggapai pemikiran dan nurani rakyat. Realita, para kiai dan satri menjadi tumpuan masyarakat dari kegundahan, kepahitan, dan kepedihan sebagai rakyat jajahan. Sebab, kiai dan santri yang memahami apa artinya belenggu feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme yang mencederai kemanusiaan.

Masa itulah, NU berperan besar dalam perjuangan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia dalam mematahkan artinya belenggu feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme, serta menjadi pelopor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbukti, perjuangan NU tersebut kita ketahui dipimpin oleh ulama besar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahid Hasyim, yang semangat perjuangan kedua ulama besar NU itu diteruskan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (pangilan akrabnya Gus Dur) dalam ruang dan dimensi yang berbeda saat beberapa kiprah Gus Dur.

Berbeda saat ini, setelah tokoh fenomenal Gus Dur yang pemikirannya menyatukan loyalitas intuisi (naqliyah), keterbukaan rasional (aqliyah), dan otentisitas empiris, siapakah tokoh representatif penganti Gus Dur? Sebagaimana kegundahan Giripurwa, staf pengajar Fisipol Universitas Bengkulu, beliau mencoba mempopulerkan Gus Mus (Mustofa Bisri) dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang berasal dari golongan nadhliyin, sebab soal spirit dasarnya dalam menyikapi dan menindaki kebajikan cukup bagus, meski tidak sereplika pribadi Gus Dur.

Kembali ke Khittoh
Adalah khittoh, Prof. Dr. M. Bambang Pranomo, dosen Sosiologi Agama UIN, Ciputat-Jakarta dalam NU dan Keindonesiaan, menyebutkan, ketika isu terorisme menjadi perhatian dunia dan Islam menjadi tertuduh, sebetulnya tugas NU sangat besar untuk menetralkan tuduhan Islam sebagai agama teroris tersebut. Sebab, prinsip umum ajaran sosial-politik NU yang mengambil pola Sunni, yakni sikap tawassuth, tawazun, dan tasamuh serta al-mukhafadhoh bi al-qodim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah, kiranya sangat penting dalam upaya membendung gerakan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Tesis berbeda, ketika Benny Subinto, peneliti dalam sumber yang sama, ia mengutip tulisan Clifford Geertz, 1958, berjudul “The Javanese Kijaji: the Changing Role of a Cultural Broker”, dikatakan bahwa sekarang para kiai—tidak lain salah satunya adalah kiai NU dan santri NU—berperan secara instrumental menuju masyakat Indonesia baru. Berbeda dengan masa sebelumnya, masa kolonialisme Hindia Belanda, para kiai menjalankan fungsi sebagai cultural broker untuk menjembatani komunitas NU yang agraris-tradisional dengan elite nasional yang modern.

Geertz membayangkan, jika saja para kiai NU, khususnya di Jawa, tidak menjalankan fungsi kiai sebagai cultural broker, sangat boleh jadi Islam di Indonesia akan mengikuti kecenderungan politik negara-negara Timur Tengah yang penuh dengan korupsi, tidak ada tanggung jawab, dengan pemimpin yang sekuler tetapi hipokrit secara agama.

Benar, ketika NU harus kembali ke ruh yang dahulu. Khittoh yang lama juga tidak dikatakan jadul (kuno), bahkan fungsi kiai dahulu juga tidak tertinggal dengan yang namanya modernitas.
Pasalnya, khittoh NU tidak diragukan lagi dalam kenegaraan NKRI, kiranya sudah final. Tak pelak dengan keteguhan dasar kemasyarakatan NU terhadap nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, toleransi, dan hidup berdampingan secara aman, nyaman dan damai dalam pluralisme kehidupan.

Cukup lama, gagasan “NU kembali ke Khittoh 1926”. Pada muktamar ke-27 di Situbondo (Jatim) saja diputuskan NU kembali ke Khittoh 1926, Keputusan Muktamar XXVII NU No. 02/MNU-27/1984 yang keputusan tersebut juga berangkat dari hasil muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Kemudian, dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta 1989, keputusan kembali ke Khittoh 1926 semakin dipertegas, dan semakin dimantapkan.

Dengan adanya Muktamar NU ke-32 kemarin, kiranya para pemimpin NU pada periode 2010-2015 menjadi tumpuan atas harapan-harapan masyarakat dan umat nahdliyin khususnya. Sebuah harapan, kritikan, aspirasi, dan realita yang terangkup dalam NU dan Keindonesian cukup menjadi catatan dan tugas kepada kepemimpinan NU pada satu periode saat ini.

Mudah-mudahan cita-cita NU dan nahdliyin-nya dapat tercapai yang berimplikasi pada keamanan dan kenyamanan hidup di masyarakat yang notabene negara Pancasila ini. Semoga.[]

0 Komentar:

Copyright © 2012 Sanggar Baca Pustaka.